Semula Kyai Santiko hanya bermaksud menemukan sapinya yang hilang entah kemana. Rasa penasaran menggiringnya ke perbukitan, hingga menemukan Gua Tabuhan. Sekitar 40 kilometer bergeser dari pusat Kota Pacitan, Gua Tabuhan merupakan salah satu perhentian kami yang mengundang decak kagum dan rasa penasaran.
Lontar kata masyarakat lokal menceritakan bahwa setelah dibersihkan semak belukarnya, gua tersebut pernah dipelihara oleh keturunan sang kyai, Raden Bagus Joko Lelono dan putri Raden Ayu Mardilah.
Berlokasi di bukit kapur Tapan, ukuran Gua Tabuhan bisa dinilai lebih kecil, dibandingkan dengan gua-gua lain di Pacitan. Untuk sampai ke ujung gua, Anda hanya memerlukan waktu tempuh paling lama 15 menit. Akses untuk menemukan gua ini pun relatif mudah, mengingat kondisi jalan dan papan penunjuk jalan tersebar di berbagai tempat, mengarahkan pendatang untuk menemukan tempat ini.
Gua Tabuhan terletak di dalam teritori Desa Wareng, Kecamatan Punung, Pacitan. Melintasi pepohonan dipadu dengan hijau sawah dan keriaan sore yang riuh rendah, udara sejuk yang menenangkan menyambut kami dengan ramah saat tiba di Gua Tabuhan. Lokasi ini mendapatkan sorotan publik karena di dalamnya Anda bisa menyaksikan permainan gamelan Jawa, di mana instrumennya menggunakan bagian-bagian gua yang dipukul dan mengeluarkan bunyi menyerupai gamelan Jawa.
Sesampainya di mulut gua, kami diharuskan membayar tarif sejumlah Rp 4.000 per orang, untuk masuk gua. Dari balik tas mungilnya, Andi, warga lokal pemandu, menyerahkan dua buah senter bekal penerangan kami. Karena sudah sore, dibutuhkan sedikit bersabar untuk bisa mengumpulkan para pemain yang biasa bermusik gamelan khas Gua Tabuhan. Maklum, karena mereka adalah warga sekitar yang memiliki aktivitas dan keseharian masing-masing.
Andi menawarkan untuk terlebih dahulu menjelajahi gua, mengisi waktu yang semakin surut, sembari me-nunggu para pemain gamelan Gua Tabuhan terkumpul. Kami mengangguk setuju, dan tanpa ragu melangkah masuk ke dalam gua.
“Masyarakat menaruh kepercayaan, bahwa pada masa perang Diponegoro, sang pangeran pernah bersemayam disini dan melakukan pertapaan. Saat itu, tentara Belanda sedang memburu beliau. Mereka mengira, sang pejuang kemerdekaan itu sudah berada jauh dari daerah Jawa Timur. Ternyata dia sedang bertapa di tempat ini,” Andi menjelaskan.
Saat itu, keadaan gua masih liar dan masyarakat percaya bahwa tanpa adanya kekuatan magis, tidak mungkin manusia biasa bisa meraih lokasi pertapaannya. Tidak sampai sepuluh menit kami menelusuri lorong-lorong gua, dari kejauhan tampak sebuah ruangan yang disinari cahaya kekuningan. Dari kegelapan sekeliling jarak pandang, ruangan itu memang menyita perhatian si-apapun yang tiba di sana.
Ruangannya tidak terlalu lapang, dan langit-langitnya pun relatif pendek. Tidak ada yang melarang Anda untuk memasuki ruangan itu, namun sepenglihatan saya, untuk memasuki ruangan tersebut dibutuhkan tenaga ekstra, karena tepat di depan ruangan itu terhalang bebatuan, sehingga memasukinya akan memaksa Anda untuk sedikit meliukkan tubuh. Saya hanya bisa mengamatinya dari luar, ruangan pertapaan itu terlalu sempit, entah memang tubuh saya yang tambun atau ukuran ruangan itu yang terlalu kecil untuk orang kebanyakan.
“Pada tahun 1825 di mana perang Diponegoro terjadi, gua ini sempat sangat terkenal. Kompeni kelabakan mencari-cari buronan mereka, di mana gerangan sang pangeran berada, dan tidak ada seorangpun yang tahu bahwa beliau menghabiskan hari-harinya di ruangan itu,” Andi menambahkan.
Tidak lama, di hadapan kami, para pemain gamelan Gua Tabuhan sudah siap melantunkan tembang-tembang. Di area pertunjukkan, sudah disisipkan beberapa lampu sebagai sarana pendukung pen-cahayaan, yang membantu per-tunjukan gamelan agar tampil makin menarik.
Dua perempuan duduk dengan rapi dan mendapat tugas untuk menjadi biduanita. Di samping mereka, sudah hadir seorang pria yang duduk bersila. Tangannya menempel pada membran kendang, ia bersiap-siap mem-berikan degup irama serta menuntun lagu-lagu ke dalam beat yang tepat.
Paling menarik, saat seorang musisi berdiri memijak batu, menggenggam palu dan menempelkannya ke sebuah stalaktit. Saya belum mengenal bebunyian yang bakal dihasilkan stalaktit itu. Ada sekitar tiga orang lagi melakukan hal yang sama. Di bawah sorotan cahaya lampu, kelompok Mudilaras Selo Argo ini siap memainkan lima lagu.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR