Biksu I-Tsing dalam catatannya yang dibuat menjelang akhir abad ketujuh menyebut kapur barus sebagai salah satu produk andalan Shih-li-fo-shih (Sriwijaya). Kapur barus, atau kamper, menurut para ahli sejarah bahkan memang sudah dikenal oleh bangsa-bangsa Timur Tengah jauh sebelum berdirinya Sriwijaya. Mungkin sejak awal-awal Masehi atau bahkan jauh sebelumnya.
(Baca: Sriwijaya di Mata Biksu Pengembara dari Cina)
Pada abad keenam, seorang dokter Yunani yang berdiam di Mesopotamia menyebut tentang kamper dalam salah satu catatannya. Kemudian, pada paruh pertama abad ketujuh ketika pasukan Arab merebut Istana Chosroes II di tepi Sungai Tigris, juga ditemukan tempayan-tempayan yang penuh berisi kamper. Benda asing itu semula disangka garam.
Di negeri asal Biksu I-Tsing yakni Cina, pada paruh pertama abad keenam juga disebutkan mengenai kamper. Lebih menarik lagi, karena penyebutannya adalah “kamper Po-lu”. Po-lu merupakan salah satu nama tempat yang kerap diasosiasikan dengan Barus di Sumatra. Selain “Po-lu” (yang juga pernah disamakan dengan Perlak), beberapa nama lain yang pernah dilekatkan kepada Barus pada masa Sriwijaya antara lain Lang-po-lu-si (dalam Hsin-Tang-shu atau sejarah baru Dinasti Tang), Pin-su, dan Fansur. Nama yang terakhir ini merupakan penyebutan versi bangsa Arab.
Saat ini, Barus merupakan kota kecil di pesisir Sumatra bagian barat, menghadap ke Samudra Hindia. Bagaimanapun, pada masa lalu, agaknya Barus kerap pula digunakan untuk menyebut Sumatra bagian utara secara umum.
Raja Sriwijaya pada awal abad kedelapan (mungkin Sri Indrawarman, penerus Dapunta Hyang Sri Jayanasa) dalam suratnya kepada penguasa Dunia Arab menyebutkan bahwa negerinya adalah tanah yang ditumbuhi pohon bahan kapur barus. Sang maharaja menyebutkan, keharuman kapur barus tercium hingga “bermil-mil”.
Chau Jukua yang menulis Chu-fan-chi (negeri-negeri barbar/asing di Laut Selatan) pada abad ke-13 menyebut bahwa kamper berasal dari P’o-ni (Kalimantan) dan Pin-su (Barus). Chau-jukua sekaligus melakukan koreksi. “Laporan-laporan umum bahwa kamper ditemukan di San-fo-tsi (nama lain Sriwijaya—red) merupakan kesalahan. Sebenarnya, negeri ini merupakan titik perhentian pada jalur lalu-lintas komoditas dari semua bangsa. Produk-produk dari negeri-negeri lain distop di sana, disimpan ke dalam gudang untuk diperdagangkan dengan produk-produk negeri asing,” tulis Chau Jukua.
(Baca: Konsep Mendesa di Ibu Kota Sriwijaya)
Laporan Chau Jukua menegaskan bahwa pelabuhan Sriwijaya adalah tempat bertemunya aneka komoditas dari berbagai tempat dan negeri. Kapur barus mungkin dibawa ke pelabuhan itu, sama saja apakah Barus merupakan salah satu pelabuhan dalam jaringan Sriwijaya atau tidak. Bagaimanapun, pada masa sekarang, mencari pohon kamper di daerah Barus dapat dikatakan suatu hal yang nyaris mustahil.
Ikuti kisah mengenai Kejayaan Sriwijaya di majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2013.
Penulis | : | |
Editor | : | Reni Susanti |
KOMENTAR