Stephen Hawking mengatakan bahwa otak mampu berdiri sendiri di luar tubuh dan mendukung manusia untuk memperoleh keabadian.
"Saya pikir otak seperti sebuah program dalam pikiran, seperti komputer, jadi secara teoretis sebenarnya mungkin untuk menyalin otak ke komputer dan mendukung bentuk kehidupan setelah mati," kata Hawking seperti dikutip The Guardian, Sabtu (21/9/2013).
Namun, menurut Hawking, keabadian seperti yang diungkapkan Hawking masih di luar kapasitas manusia saat ini.
Selama ini, berdasarkan kepercayaan yang diyakini, banyak manusia memahami bahwa setelah mati, manusia akan menjadi abadi di alam yang berbeda, bertemu dengan Tuhan serta berada di surga atau neraka sesuai perbuatannya selama hidup.
Namun, Hawking menuturkan, "Saya pikir kehidupan setelah mati secara konvensional adalah dongeng untuk orang-orang yang takut pada kegelapan."
Keabadian seperti yang diungkapkan Hawking kerap disebut dengan keabadian digital. Dalam hal ini, manusia abadi tetapi tidak dalam tubuh biologisnya. Dalam keabadian digital, eksistensi manusia tak lagi tergantung pada tubuh karena tubuh bisa diupayakan.
Keabadian seperti yang dimaksud Hawking sebenarnya sudah sering dibahas, termasuk oleh Ryan Kurzweil, salah satu insinyur di Google.
Dalam Global Futures 2045 International Congress, sebuah konferensi futuristik yang digelar di Amerika Serikat pada 14-15 Juni 2013 lalu, seperti diberitakan Huffington Post pada 20 Juni 2013, Kurzweil mengungkapkan bahwa keabadian digital bisa tercapai pada tahun 2045.
Salah satu teknologi kunci yang mendukung keabadian digital adalah mind uploading atau pengunggahan pikiran ke komputer alias dunia digital.
Sementara itu, keabadian digital mungkin terjadi dan telah banyak dibicarakan, tetapi banyak pertanyaan mendasar yang belum terjawab. Misalnya, mengapa manusia harus hidup abadi? Apa manfaatnya? Apa masalahnya kalau manusia hidup lalu mati saja seperti yang dialami saat ini?
Source | : | The Huffington Post |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR