PRAK! Suara perisai yang dihempaskan ke lantai kayu itu mengentak pengunjung. Sore itu, seorang penari Dayak sengaja membanting tameng kayu hingga terbelah dua. Interaksi sang penari dengan penonton menyemarakkan Kawasan Wisata Adat Baloy Tidung.
Diiringi musik tradisional dari pelantam, sang penari berlenggak-lenggok bertumpu pada pergelangan kaki. Kendati nampak sederhana, putaran pergelangan kaki membutuhkan keseimbangan tubuh.
Berteduh di bawah bayang-bayang rumah tingkat dua lubung kilong, yang menjulang di tengah kolam, pengunjung menikmati sajian budaya Tarakan. Lubung kilong adalah tempat untuk menyajikan kesenian Tidung. Dari sinilah, sang penari menuruni tangga, lantas menari. Lekingan telah menggema dari lubung kilong sebelum beranjak turun, dan menari. Sajian budaya ini digelar saban sore pada hari Minggu.
Saya memasuki kawasan budaya ini menjelang sore, sengaja untuk menikmati sajian tari-tarian khas Kalimantan. Langit biru cerah, awan seputih kapas mengambang di angkasa. Para pemuda-pemudi bercengkerama, menyusuri jalan kayu. Sebuah kolam besar, dengan bahtera di tengah-tengah, mengundang anak-anak bermain.
Dari gerbang masuk, saya menatap rumah panggung nan megah. Berbagai ornamen menghiasi atas rumah utama: naga dan rangkong dipahat halus, menghiasi arsitektur adat ini. Sebagian besar rumah adat terbuat dari kayu ulin, berwarna cokelat tua, beratap merah kecokelatan. Rumah baloy menghadap utara, sedangkan pintu utamanya menatap arah selatan.
Rumah baloy terbagi dalam empat ruang utama atau ambir. Ambir kiri merupakan tempat pengaduan masalah adat bagi masyarakat. Sementara itu, ambir kanan menjadi ruang untuk berdamai dalam perkara adat. Bagi para pemuka adat, tempat mereka bersidang berada di ambir tengah. Dan, tempat utama bagi kepala adat besar bertempat di lamin dalom.
Di sela jalan kayu, di belakang baloy terdapat lubung kilong. Halaman kayu nan luas, menyela lubung kilong dengan aula besar lubung intamu. Bangunan paling megah ini menjadi tempat persamuhan masyarakat adat, seperti pelantikan pemangku adat ataupun musyawarah besar.
Di halaman luas itulah, sajian tari adat Dayak dan Melayu sore itu digelar disaksikan para pengunjung. Hawa panas tak menyurutkan semangat para pemirsa menikmati seni tari tradisional. Sebenarnya hanya ada dua pementasan. Namun, di tengah serbuan kehidupan modern, bagi saya, atraksi tradisional bagaikan siraman budaya setempat.
Dari ujung ke ujung, Pulau Tarakan bisa dijelajahi dalam satu hari. Setiap lokasi di pulau seluas 250kilometer persegi—tak sampai separuhnya DKI Jakarta—ini mudah dijangkau melewati jalan lumayan mulus. Sejak menjejakkan kaki di pusat kota, kesan sebagai penghasil minyak bumi begitu terasa.
Saat melewati Kampung Enam, Tarakan Timur, di tepi jalan raya terdapat pompa angguk minyak bumi. Pompa angguk ini menjadi salah satu penanda ruang Kota Tarakan. Tak jauh dari pompa angguk, berdiri beberapa menara pompa minyak yang telah ketinggalan zaman. Sebagian besi-besi penopang menara telah runtuh.
Jejak petilasan bangunan tua tersebar di sudut-sudut kota. Di depan Klenteng Toa Pe Kong, yang dibangun pada 1906, di Pamusian, Tarakan Tengah, terdapat bangunan tua tempat pegawai perusahaan minyak Belanda Bataafsche Petroluem Maatschapij (BPM).
Wisma Patra atau Socheido di sebelah utara Stadion Datu Adil, Skip, Tarakan Tengah, merupakan tempat pertunjukan seni, tenis dan kolam renang di masa lalu. Bangunan dengan meriam kuna yang dibalut kain kuning emas ini didirikan oleh perusahaan minyak swasta Belanda sekitar 1928.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR