Rumah panggung berlantai kayu dengan tata ruang serba terbuka itu terasa begitu tenang. Beberapa perempuan tengah asyik membatik, tenggelam dalam aktivitas meniup malam mendidih pada canthing, lantas mengoleskannya ke kain mori, sesuai pola yang telah digambar pakai pensil.
Kalaupun ada latar belakang suara, cuma perkataan para pengajar dan peserta sesekali, ditambah lagu-lagu nuansa klasik yang mengalun pelan. Itulah kelas membatik di Museum Tekstil Jakarta.
Ibu Kris, salah satu pengajar kelas batik mengungkap, ada empat level atau tingkatan membatik yang bisa diikuti peserta; Warna satu kelengan, Warna dua batik daleman (Yogyakarta – Solo), Warna tiga batik pesisiran, dan Warna empat khusus menggunakan pewarna alam. Tiap tingkatan, terdiri dari empat kali pertemuan yang waktunya bisa disesuaikan keinginan siswa.
“Setelah lulus, siswa akan memperoleh sertifikat yang bisa digunakan mengajar,” jelas Ibu Kris. Pagi itu, kelas tersimak unik karena para perempuan yang belajar di sana tak melulu asli Indonesia. Ada beberapa warga negara asing menjadi siswanya, seperti Belanda, Korea, dan Jepang.
Umumnya mereka mengikuti tugas suami sebagai ekspatriat dan mengisi kesibukan di Indonesia. Bahkan, ada siswa asal Jepang yang sudah lima tahun lamanya berguru di museum ini. Yang membuat tim pengajar bangga, beberapa siswa asal Jepang membuka butik batik sepulangnya ke Negeri Sakura. Dengan demikian, pengetahuan yang sudah didapat di museum tersebut tidak mandeg, tapi dikembangkan dan disesuaikan dengan cita rasa Jepang.
Di sisi lain, kelas batik "kilat" juga digelar pihak Museum Tekstil. Khususnya bagi para siswa yang memiliki kegiatan wajib kunjung museum, atau para pengunjung biasa dengan frekuensi datang cuma sekali. "Kami sediakan paket membatik seukuran saputangan, sekitar satu jam dan hasilnya bisa dibawa pulang," cerita Ibu Kris.
Museum Tekstil menempati sebuah bangunan kolonial yang dulu beralamatkan Jalan Jati Petamburan (kini berubah menjadi Jalan Karel Satsuit Tubun). Gedung dibangun pada abad ke-19, dengan kepemilikan berubah-ubah dari orang Perancis, Turki, warga Belanda bernama Dr Karel Christian Cruq alias Vermeulen (1942) serta warga Tionghoa.
Di masa perjuangan, tahun 1945, pernah dijadikan markas Barisan Pelopor dan Badan Keamanan Rakyar (BKR) sampai menjadi asrama Departemen Sosial sebelum akhirnya menjadi museum yang diresmikan pada 28 Juni 1976.
Koleksi utama museum berupa aneka kain Nusantara. Seperti batik, ulos, tenun, sarung yang dibuat dengan gedogan (alat tenun bukan mesin), aneka kain panjang dari bahan kain, sampai pakaian menggunakan bahan alam lain seperti kulit kayu, rumbai dan batok kelapa. Koleksi total mencapai 1.800-an buah, dengan sumbangan dari masyarakat luas sekitar 500 buah.
(Lihat: Koleksi Songket di Museum Tekstil)
Menelusuri Museum Tekstil tak ubahnya mempelajari nukilan sejarah peradaban Indonesia. Mulai asal mula pakaian kulit kayu dan goni, kejayaan negeri seperti yang dicitrakan dari umbul-umbul Fatahillah dalam penyerangan tentara Demak ke Sunda Kelapa (1527) hingga namanya berubah menjadi Jayakarta, sampai penamaan dan peruntukan khusus.
Seperti batik "Hokokai' yang dari namanya ditengarai berkembang saat pendudukan Jepang. Atau motif "buketan" atau kumpulan bunga, nama lain dari bouquette. Begitu pula kain batik tulis pekalongan banyak digunakan oleh kaum Betawi sebagai bagian dari busana tradisional.
Begitu pula kain yang sulit dijumpai dalam keseharian di ibukota Jakarta, bisa cukup ditilik dari balik kaca. Seperti kain dan selendang Aceh Tenggara yang disebut ulen-ulen. Berdasar hitam, dengan sulaman ragam geometris segitiga warna merah-hijau-kuning. Atau sarung songket lepus berakam dari Palembang (1970).
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR