Happening art “Kartu Pos untuk Kota; Mimpi Buruk untuk Haryadi” pada 13 September lalu, menjadi kegiatan pra-Festival Seni Mencari Haryadi. Momentum dimulainya festival seni ini terjadi pada 6 Oktober 2013. Komunitas street art membuat karya “Jogja Ora Didol” (bhs.Jawa: Jogja Tidak Dijual) di pojok beteng wetan/timur, Yogyakarta.
Elanto Wijoyono selaku Litbang dan Humas Festival mengatakan, “Kami menggunakan Bapak Haryadi sebagai ikon ketika kita membicarakan kepemimpinan dalam konteks tata kelola kota. Kepemimpinan menjadi hal yang penting karena di situ letak koordinasi dan komunikasi antarpihak, baik antara instansi pemerintahan maupun dengan masyarakat.”
“Begitu kepemimpinan lemah maka jalannya Kota Jogja menjadi kota yang autopilot, karena setiap pihak ingin melakukan apa yang mereka inginkan di kota ini dengan standarnya masing-masing. Yang muncul kemudian adalah ketidakteraturan.”
“Di festival ini kami berkumpul sebagai warga, tidak mengusung nama satu lembaga atau organisasi manapun, walaupun masing-masing kami aktif di komunitas atau organisasi masing-masing, tapi kami berkumpul di sini sebagai warga yang mencoba bersuara bersama.”
“Dalam gerakan ini kami semua mencoba melihat situasi berdasarkan data yang ada dan melakukan respon dengan medium seni yang arahnya untuk membangun ruang-ruang dialog yang lebih luas agar kemudian bisa muncul solusi bersama. Karena kami tidak ingin aksi seni yang kami lakukan berada di ruang hampa hanya untuk kepuasan sendiri,” pungkas Elanto Wijoyono.
Festival Seni Mencari Haryadi ini digagas secara organik oleh seniman, komunitas pengamat kota, komunitas sepeda, dan beberapa komunitas lainnya. “Biasanya festival seni diselenggarakan dalam rangka merayakan sesuatu. Kami merayakan situasi chaotic dari kota ini dengan menggunakan seni sebagai media,” urai Agung Kurniawan selaku Direktur Artistik festival dalam konferensi pers.
“Seni memiliki dua fungsi utama, selain bersifat semata-semata keindahan, ia juga memiliki sifat lain yang seringkali dilupakan, yaitu kemampuannya bersifat kritis. Jadi kami memakai sisi lain dari seni sekarang sebagai media kritis terhadap apa yang terjadi di lingkungan perkotaan,” imbuhnya.
“Ide konsep artistik dari festival ini semacam bola saju, awalnya kecil tapi akan terus membesar seiring dengan respon yang kami terima di masyarakat,” lanjut Agung Kurniawan, “Festival ini agak berbeda karena festival ini didasarkan pada persoalan, pada masalah. Lalu masalah ditransliterasikan kepada media seni.”
“Seperti contoh ketika Tim Festival bertemu dengan masyarakat bantaran Kali Code yang merasa perhatian Pemerintah Kota yang sekarang kurang atas risiko banjir lahar dingin (yang biasanya datang pada November-Desember). Kami akan membuat persoalan ini tersuarakan lewat kegiatan kesenian. Semestinya ini kan didukung, karena masyarakat menyediakan diri menjadi mata dan telinga terhadap persoalan yang terjadi,” pungkas Agung Kurniawan.
Dalam rilis yang dikeluarkan Panitia disebutkan bahwa festival ini terbuka untuk siapa saja yang ingin mengangkat persoalan-persoalan yang tak dijamah oleh Negara—yang di kota Yogyakarta ini diwakili oleh walikota Haryadi Suyuti dan Imam Priyono.
Saat ini sudah ada belasan seniman dan banyak komunitas yang bergabung dalam Festival Seni Mencari Haryadi, seperti: Agung Kurniawan, Papermoon Puppet Theater, Komunitas Street Art, Eko Nugroho, Djaduk Ferianto, Tita Rubi, Ong hari Wahyu, Marzuki Muhammad alias Kill The DJ, Komunitas Sepeda, Komunitas Kali Jawi, Sanggar Anak Kampung Indonesia, Pewarta Foto Indonesia Yogyakarta, Arsitek Universitas Teknologi Yogyakarta, dan lain-lain.
Festival seni ini bersifat organik. Pendanaan pun dilakukan secara swadaya, baik dari komunitas maupun seniman. Oleh karena itu, bentuk karya akan bersifat murah, meriah, dan sementara.
“Task force kami di kepanitiaan festival ini adalah sebagai support system aspirasi masyarakat Yogyakarta. Jika mereka memiliki keluhan dan ingin mengemukakannya, maka kami akan membantu memaksimalkan publikasinya. Jika dibutuhkan, kami menyediakan fasilitas olah artistiknya,” jelas Yoan Vallone, salah satu anggota tim Bidang Humas festival.
Setidaknya, telah disusun rangkaian kegiatan festival hingga Januari 2014. Kegiatannya beragam, mulai dari pembuatan mural, paduan suara, pentas musik, marching band, performance art, pameran foto, pameran poster, festival kampung, pawai, karya instalasi, hingga teater boneka.
Festival ini rencananya akan berjalan hingga Maret 2014.
Megathrust Bisa Meledak Kapan Saja, Tas Ini Bisa Jadi Penentu Hidup dan Mati Anda
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR