Nationalgeographic.co.id—Sebuah penelitian yang dipimpin oleh Duke University mencoba menganalisis mekanisme mengunyah kerabat manusia purba yang disebut Homo florersiensis. Manusia purba yang menghuni pulau Flores di Indonesia sekitar 18.000 - 30.000 tahun yang lalu. Homo floresiensis mendapatkan julukan "The Hobbit" berdasarkan karakter di The Lord of the Rings karya J.R.R. Tolkien karena ukurannya yang tidak lebih dari 3 kaki atau sekitar 90 cm.
Para peneliti ingin memahami bagaimana perilaku tengkorat Homo floresiensis saat memakan makanannya. Rincian penelitian tersebut telah dipublikasikan di Jurnal Interface Focus pada 13 Agustus 2021.
Untuk bisa mengujinya, para peneliti harus merekonstruksi tengkorat Homo florersiensis sedekat mungkin ke bentuk aslinya. Hal itu karena ribuan tahun fosilisasi telah membuat tengkoraknya rusak dan cacat.
Kolaborator dari University of Bologna mencoba merekonstruksinya dengan menggunakan model virtual 3D. Didasarkan pada hasil CT scan sinar-X, para peneliti mengisi bagian yang hilang secara digital pada tengkorak Homo floresiensis, menjelajahi kembali pulau Flores sekitar 100.000 tahun yang lalu.
Para peneliti kemudian menggunakan simulasi komputer dan teknis yang disebut finite element analysis untuk memberikan karakteristik pada tengkorak virtual tersebut untuk membuatnya mirip seperti aslinya, seperti kekakuan tulang dan gerakan menarik otot. Kemudian peneliti memiliki tengkorak virtual yang dipotong dengan gigi belakangnya, gigi premolar dan geraham.
Peneliti selanjutnya menganalisis kekuatan yang dihasilkan pada setiap gigitan secara digital. Memetakan strain dalam model digital tulang wajah Homo florersiensis ketika menggigit, membandingkan hasilnya dengan simulasi serupa untuk kerabat manusia sebelumnya yang disebut australopith yang hidup sekitar dua hingga tiga juta tahun lalu di Afrika, beserta dengan simpanse dan manusia yang hidup hari ini.
Baca Juga: Selain Kita, Bagaimana dengan Keberadaan Hobbit dan Raksasa?
Hasilnya, peneliti dapat menentukan bahwa gigitan Homo floresiensis bisa menghasilkan kekuatan sekitar 1300 Newton, sebanding dengan kekuatan mengunyah manusia modern dan beberapa sepupu purba kita yang telah punah. Tetapi jika ia menggigit terlalu keras kacang keras atau sebongkah daging yang keras, temuan menunjukan bahwa Homo floresiensis akan berisiko lebih besar dibandingkan kerabat manusia kita sebelumnya untuk meregangkan tulang wajahnya atau dislokasi sendi di mana rahang atas dan bawah bertemu.
"Kami tidak benar-benar tahu apa yang dimakan Homo floresiensis," kata penulis pertama Rebecca Cook, mahasiswa doktoral antropologi evolusioner di Duke kepada Duke Today.
Tapi hal itu berarti, Homo floresiensis mengunyah dengan lebih efisien karena terkait peralatan yang digunakannya untuk mengolah makanan. Seperti manusia modern saat ini, H. floresiensis menggunakan upaya yang lebih sedikit untuk mengunyah makanan.
Baca Juga: Studi Terbaru Coba Ungkap Identitas Manusia Hobbit dari Flores
Studi itu menunjukkan pergeseran ke wajah yang lebih kecil, gigitan yang lebih lemah, dan rahang yang sakit berevolusi lebih awal, sebelum nenek moyang Homo floresiensis dan manusia modern berpisah.
Justin Ledogar, peneliti Duke dan penulis senior studi tersebut, mengatakan langkah selanjutnya adalah melakukan analisis serupa pada anggota genus Homo sebelumnya, termasuk Homo erectus. Hominin pertama yang diketahui menggunakan api dan memasak makanan, spesies ini juga memiliki gigi, rahang, dan wajah yang lebih kecil daripada hominin sebelumnya. Homo erectus dianggap oleh beberapa orang sebagai nenek moyang Homo floresiensis.
Para peneliti mengatakan penelitian itu dapat membantu menjawab pertanyaan yang tersisa tentang dari mana Homo floresiensis berasal, bagaimana ia hidup dan bagaimana ia cocok dengan pohon evolusi manusia. "Studi ini hanyalah satu bagian kecil dari teka-teki yang jauh lebih besar," kata Cook.
Baca Juga: Manusia Purba yang Baru Ditemukan Ini Lebih Kecil dari 'Hobbit'
Source | : | Jurnal Interface Focus,Duke Today |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR