Gajah Afrika tampaknya memiliki pemahaman naluriah atas gerakan manusia, demikian menurut para ilmuwan Inggris. Dalam sebuah rangkaian tes, peneliti Ann Smet dari Universitas St Andrews, menawarkan seekor gajah pilihan antara dua ember yang mirip. Dia kemudian menunjuk salah satu ember yang berisi makanan yang sengaja disembunyikan.
Dari percobaan pertama, gajah selalu memiliki ember yang tepat. Hasil penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal Current Biology.
Richard Byrne, salah satu penulis dalam riset tersebut, mengatakan gajah-gajah yang berada di sana diselamatkan dan dilatih untuk bisa ditunggangi. "Mereka [pelatih di penangkaran] secara spesifik melatih gajah untuk merespon perintah-perintah suara. Mereka tidak menggunakan bahasa tubuh apapun," kata Byrne.
"Idenya adalah pelatih bisa berjalan di belakang gajah dan bisa memerintahkan apa saja dengan kata-kata."
Pemahaman natural
Terlepas dari itu, binatang ini tampaknya juga mengerti arti menunjuk walau tidak dilatih khusus. Smet mengatakan dia cukup terkesan dengan pemahaman gajah-gajah terhadap bahasa tubuh tersebut.
"Tampaknya pemahaman mereka terhadap gerakan menunjuk merupakan pemahaman yang natural dan mereka secara kognitif lebih dekat dengan kita dari apa yang sebelumnya kita sadari."
Byrne mengatakan penelitian tentang gajah ini akan membantu mereka membuat peta pohon evolusi yang sangat jauh dari manusia. "Mereka sangat terkait dengan kita," katanya seperti dilansir Jumat (11/10).
(Lihat juga: Ragam Cara Pemburu Selundupkan Gading Gajah)
"Jadi jika kita menemukan kemampuan yang mirip manusia pada binatang seperti gajah yang tidak memiliki nenek moyang yang sama dengan kita lebih dari 100 juta tahun lalu, kami cukup yakin kemampuan itu berevolusi secara terpisah. Inilah yang dinamakan evolusi konvergen."
Peneliti mengatakan penemuan ini mungkin menjelaskan bagaimana gajah berhasil dijinakan dan memiliki "kedekatan sejarah dengan manusia, walau memiliki potensi yang membahayakan karena ukurannya yang besar."
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR