“Losmen ini mengingatkan saya ke-pada kehangatan orang-orang Manado. Bersama pengurus penginap-an dan warga sekitar, kami duduk bersama saat malam tiba dan seseorang memetik gitar, lantas lainnya menimpali dengan nyanyian,” kenang Francine, rekan sepelancongan yang duduk bersama saya di warung kopi.
“Kau pasti tengah membincangkan penginapan yang sama dengan favorit pasangan saya. Apakah benar, bila malam sudah larut kadang terdengar tikus berlarian di langit-langitnya?” tanya saya kepada Francine karena deskripsi yang ia paparkan mirip dengan penuturan pasangan saya. Tawa perempuan berusia 40 itu berderai.
“Benar sekali! Pejalan barat yang bepergian dengan biaya ekonomis biasanya selalu menginap di sana. Nilai-nilai keakraban dan kerinduan rupanya mampu mengalahkan ke-ributan suara tikus di atap. Sayang, losmen itu sudah tidak ada sekarang.”
Saya mengungkap kesukaan menginap di Hotel Minahasa—hanya beberapa langkah dari tempat saya dan Francine menikmati kopi saat itu—bila bepergian ke Manado. Saya menikmati, betapa dari tahun ke tahun penginapan ini “tumbuh” sampai menjadi seperti sekarang. Dapat dirasakan, sang pemilik sudah mengonsep hunian untuk jangka panjang.
Keputusan saya saat memilihnya, karena ber-nuansa sangat homey. Dengan bangunan induk berlanggam art deco mirip rumah oma dan opa. Kamarnya menuntaskan keinginan saya yang gemar tinggal pada ba-ngunan bergaya kolonial. Dalam perkembangannya, kamar-kamar baru terus bermunculan di halaman belakang, dengan permainan kontur menaik dan berakhir pada sebuah kolam renang yang menyuguhkan pemandangan ke Teluk Manado dari sebuah teras luas.
Bisa digambarkan, bagian depan hotel tetap bercirikan klasik, sementara bagian belakang “tumbuh” dalam konsep modern, termasuk hadirnya kolam renang serta ruang gymnasium.
Saya masih bisa mengingat, ketika tempat berenang dan be-ren-dam itu baru saja selesai dibangun beberapa tahun silam. Tangga-tangga batu menuju teras nan tinggi masih ditutup kertas-kertas bekas zak semen dan saya “memanjakan” diri dengan berenang sembari menikmati matahari terbenam tanpa ada seorang pun di sekitar.
Suasananya senyap. Kini termasuk saat saya bersiap hendak pergi menuju kedai kopi Billy’s, jangan tanyakan riuh-rendah ramainya suara para tetamu yang bercakap-cakap di tengah aktivitas berenang petang hari.
Bagi saya pribadi, meski terdapat kamar-kamar baru di bagian belakang hotel, favorit saya tetaplah bangunan lama atau rumah art deco pada bagian depan. Kamar ini berlokasi tidak jauh dari ruang makan ber-nuansa kolonial. Mulai lantai dengan ubin berpola khas tempo dulu, sampai meja dan kursi makan kayu serta akuarium kecil.
Senada menu santap paginya; roti bakar ditambah mentega dan selai atau ta-buran cokelat, pilihan telur mata sapi, setengah matang, omelette atau scrambled egg, teh dan kopi, sampai nasi goreng ikan roa ditambah buah potong. Kental nuansa liburan nostalgia yang hanya bisa didapat saat mengunjungi kakek dan nenek tercinta.
*Artikel ini merupakan petikan dari artikel berjudul sama dari National Geographic Traveler Indonesia edisi Mei 2011.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR