Setidaknya ada tiga hal yang wajib Anda lakukan selama berada di Portland, Oregon: makan, minum, dan bertualang. Di kota yang menyenangkan ini Anda akan mengakrabi sajian dengan harga terjangkau, mulai makanan segar di restoran-restoran, hingga minuman kopi dan bir di pub.
Semakin mengasyikkan karena kota ini termasuk salah satu di antara kota-kota di Amerika yang diibaratkan surga bagi pengendara sepeda. Tambah lagi, di mana-mana ditampilkan karya seni dan diberlakukan sistem daur ulang. Inilah daya tarik kota asri berpopulasi sekitar 600.000 jiwa.
Belakangan, Portland tampak sangat trendi tanpa kehilangan nuansa retronya. Selain itu, yang tak kalah mengesankan, cara warga setempat menghijaukan lingkungan, antara lain menurunkan pembuangan gas emisi. Mereka juga menampilkan sikap ramah dan gemar bergotong royong, yang agaknya terbilang langka dijumpai di tempat lain.
Setiap Sabtu pagi, pusat perdagangan di Park Avenue dijejali para pembeli memborong arugula organik, kacang dari perkebunan di Willamette Valley, dan keju artisanal sambil menyimak musik bluegrass dan lagu rakyat khas Amerika.
Kawasan perkotan berada tak jauh dari kawasan pertanian. Begitu juga kawasan wisata untuk bermain ski dan selancar dapat ditempuh sekitar satu jam saja dari kota.
Bicara Portland tidak terlepas dari kawasan lestari, di mana warga senantiasa menjalani aksi hijau, menghemat energi. Maka saya putuskan untuk mengendarai sepeda bercat merah mengilap, menelusuri sisi tenggara kota, melintasi sisi Sungai Willa-mette, juga melewati kawasan funky sekaligus elit. Saat tiba di sisi sungai, hujan men-diris. Ah, Portland.
Di kota ini terdapat banyak tempat makan enak salah satunya yang saya datangi, Produce Row Café, mungil dan berada di antara gudang-gudang. Hujan mereda saat saya menenggak tetes terakhir bir. Segera perjalanan mengendarai sepeda ini berlanjut mengambil jalur utara, melipir sisi Sungai Willamette di utara yang airnya mengalir deras, sebelum mencapai Sungai Columbia.
Saya kayuh sepeda menjauhi perairan menuju Mississippi Avenue, lalu mampir di Laughing Planet Café, milik Richard Satnick, yang mengenakan celana bermuda dan topi New York Yankees.
“Setibanya di Portland untuk pertama kali, saya berkeliling dengan sepeda, dan dalam 20 menit menyadari inilah tempat tinggal yang saya idamkan,” kata pria yang dulu bermukim di New York. Satnick mengaku jatuh hati pada kekompakan warga, dan meyakini Portland sebagai kota percontohan, yang memperlihatkan semangat “beginilah seharusnya kita bertahan sebagai sebuah bangsa.”
*Artikel ini pernah diterbitkan dalam National Geographic Traveler Indonesia edisi Mei 2011.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR