10.25 WIB.
Saya memarkirkan mobil di pinggir sungai. Bersamaan dengan kami memasuki area Pasar Baru, orang-orang juga berdatangan dari segala penjuru. Pasar Baru kini sangat berwarna. Bila Anda datang pada era abad ke-18, mungkin yang Anda temui hanya segelintir toko, dari toko Lie le Seng (menjual peralatan kantor dan tulis menulis), toko Sin Lie Seng (toko sepatu yang sangat tenar di zamannya), Toko Kompak (bekas kediaman tokoh Tionghoa terpandang, Tio Tek Ho) dan juga toko jamu Nyonya Meneer. Hingga hari ini, toko-toko tersebut masih ada dan beroperasi.Namun kini pamornya sudah menurun, kalah disalip oleh toko dan merk-merk yang lebih baru.Dari kejauhan juga terdengar para penjaja barang dagangan mengadu teriakan mereka. “Bapak ibu ini dompet saya bakar, saya lempar ke jurang, saya kasih ke macan juga tetap ada di kualitas teratas!” Belum selesai saya meperhatikan tukang dompet kulit itu berkhotbah, dari arah kanannya sudah ada teriakan yang berbeda.”Sudah dari zaman anak Adam, manusia sudah pergi ke bulan, ini eranya internet masa iya baju bapak-bapak ibu-ibu masih saja bernoda?” tutur seorang penjaja produk deterjen pembersih kotoran.Suasana yang gempita dan juga sangat hidup.
Etalase-etalase kaca yang mengilap, memamerkan banyak benda yang menggoda untuk dihampiri.Mungkin pada abad ke-19, di tempat ini hanya ada Sin Lie Seng yang menjual sepatu-sepatu kulit yang perlente. Namun kini barang tersebut berjejer banyak sekali dengan berbagai pilihan model, ukuran, dan warna.
“Dulu itu asalnya dari jalan Rijswijk semua, dek. Sekarang namanya Jalan Veteran,” sambung Bachtiar. Saya menemukannya duduk di samping sebuah kotak dengan hiasan warna-warni.Setelah didekati dan diperhatikan dengan seksama, ternyata kotak tersebut memajang uang-uang kuno dari berbagai penjuru dunia dan rentang masa.Adanya penjual uang kuno memang bukan hal baru di Pasar Baru.
Pria lanjut usia 74 tahun ini sudah 12 tahun menggeluti usaha uang kuno. Setiap hari, ia menempuh perjalanan Bogor–Jakarta pp naik kereta rel listrik. Tertarik dengan barang jualannya, saya memutuskan untuk menggali lebih dalam kisah pria lanjut usia yang unik ini. “Sampai sekitar jam satu siang, dek. Mangkal di sini sampai sore, lalu kembali deh, ke Bogor.” Bachtiar tidak sekedar berbisnis uang kuno, namun ia juga seorang kolektor. “Uang kuno itu mengajarkan kita untuk menghargai sejarah. Gimana gak menghargai, wong semakin lama uangnya, harganya semakin mahal,” kata Bachtiar, disambung gelak tawa kami berdua. “Tiga tahun lalu, saya membeli mata uang Indonesia tertentu. Saat itu harganya 800 ribu saja.Kini, harga mata uang itu sudah mencapai tujuh juta rupiah!” paparnya semangat. Seorang calon pembeli menghampiri Bachtiar dan saya terpaksa menghentikan percakapan dan kembali melangkah.
Bicara tentang Pasar Baru, tidak lepas dari komunitas Tionghoa. Pecinan membentuk urat nadi aktivitas di Pasar Baru, jauh sebelum pedagang-pedagang dari berbagai penjuru tempat masuk ke tempat ini. Bila Anda masih belum cukup bukti, bisa kunjungi Vihara Sin Tek Bio di antara Toko Nyonya Meneer dan Plasa Metro Atom. Letaknya yang terpencil tidak membuat keberadaan kuil ini menjadi tidak penting. Bangunan yang ditaksir sudah berdiri sejak abad ke-17 ini memuat ratusan patung bersejarah. Saya menjajaki lantainya yang agak berdebu, mencoba untuk menyatu dengan warna merah-kuningnya yang mendominasi. Tiba-tiba dari jauh Helen memanggil, dan saya baru sadar sejak tadi terpisah dengan ketiga sahabat saya.Saya bergabung dengan mereka, dan melanjutkan perjalanan.
13.53 WIB.
Dari padatnya kawasan Jakarta Pusat, kami beralih ke Jakarta Timur—yang sama padatnya. Daerah timur Ibukota kental dengan nuansa permukiman, kawasan militer, bahkan beberapa area industri.Namun di antara semua itu, saya mengarahkan kemudi ke Pasar Jatinegara.
Sebelum tahun 1942, area ini bernama Meester Cornelis. Semasa bangsa Indonesia dijajah oleh pasukan dari Negara Matahari Terbit, lokasi ini berganti nama menjadi Jatinegara—bermakna Negara Sejati, ditahbiskan oleh Pangeran Ahmad Jayakarta. Ia mendirikan permukiman di area Jatinegara Kaum (sekarang Pulo Gadung). Kisah lain mengatakan bahwa nama Meester Cornelis lahir dari seorang pendakwah Katolik berdarah Portugis yang bernama Cornelis Senen. Menurut berbagai buku dan sumber, di daerah ini dulu dibangun benteng yang kokoh.
Geliat peradaban di Meester Cornelis semakin bergairah, karena tempat ini juga menjadi titik temu dari berbagai tempat lain di Batavia seperti Kota, Tanjung Priok, juga Manggarai. Variasi jenis transportasinya pun berbanding lurus dengan perkembangan teknologi, dari trem bertenaga kuda, trem uap, sampai kereta api yang mampu mencapai Buitenzorg (Kebun Raya Bogor). Sekali lagi, sejarah membuktikan bahwa pasar memberikan pengaruh besar, membentuk wajah Jakarta.
Setelah saya ceritakan kisah di balik Jatinegara, Emily pun berkomentar, “Melihat dari sejarahnya, masyarakat Jakarta seharusnya belajar lebih banyak dari pasar di sekitar mereka. Kisah di balik setiap pasar cukup menjelaskan bahwa kebudayaan, tradisi, dan aktivitas yang terjadi di dalam pasar merupakan potret wajah masyarakat sejak zaman dulu kala. Untuk mendatangi pasar-pasar seperti ini merupakan langkah baru untuk kenal lebih dalam lagi seperti apa wajah ibu kota.”
Jelajah pasar kali ini kami mulai dari jejeran mainan anak di tempat yang juga dikenal dengan nama Pasar Gembrong. Lokasinya bisa dicapai dari Kampung Melayu, mengambil arah kiri ke arah Duren Sawit, melintasi kolong flyover dan terletak di ujung terowongan. Setibanya, mata kami langsung dipapar oleh warna-warna cerah aneka mainan anak. Di tempat ini, Anda bisa mendapatkan mainan dari berbagai macam rentang harga, dari Rp 2.000 – Rp 500.000.Variasi mainan anak laki-laki, seperti bola plastik, pedang-pedangan, mobil-mobilan, hingga mainan robot. Sementara pilihan mainan perempuan, seperti boneka, rumah-rumahan, dan peralatan mainan masak juga lengkap tersedia.Salah satu yang tersohor namanya adalah Toko Mainan Kawan Lama.
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR