Bagi saya, Anda, dan para penghuninya, mungkin Jakarta tidak lagi dipandang hanya sebagai sebuah kota. Jakarta adalah sebuah konsep dari bagaimana kita menghargai kesempatan, waktu, dan tenaga. Banyak dari kita lupa bagaimana cara menikmati Ibu Kota. Keindahannya terhalangi banyak hal. Bagi Jakarta dan tiap nyawa yang bertarung di dalamnya, setiap hari adalah perjuangan, setiap pagi adalah awal dari tantangan baru.
Hari itu, Jakarta tepat berusia 484 tahun. Tantangan saya adalah bangun pada pukul empat pagi, lalu menjemput tiga kawan asal Inggris, Helen Limbrey (22), Emily Barker (23), dan Guy Newell (24) di kediaman mereka. Tidak sampai lima menit menunggu, Helen dan Emily mengetuk kaca mobil dan saya kontan membukakan pintu. Guy menyusul beberapa menit kemudian. Ia menyapa saya dengan suara parau. Agaknya ia masih mengantuk. Saya mempersilakan dia untuk menyambung tidurnya, sembari saya melajukan mobil menuju ke tempat tujuan kami.
04.15 WIB.
Sebagian besar warga Jakarta mungkin baru terjaga, atau bahkan masih terlelap.Tetapi kami berempat sudah melintasi jalanan. Perjalanan ini diawali dari pertanyaan iseng saya kepada mereka tentang satu hal: Bagaimana mereka mengapresiasi Jakarta. Hal pertama yang mencuat dari benak saya adalah memperkenalkan citarasa Jakarta dari pasar-pasar tradisionalnya yang legendaris.
Kenapa pasar tradisional? Kenapa bukan mal-mal megah dan pusat perbelanjaannya? Kenapa bukan restoran-restoran elite dan gempita klab-klabnya? Orang-orang sudah lelah akan itu. Jakarta selalu menjelma, menyublim ke dalam dinamika yang ada di dalamnya. Pasar tradisional merupakan salah satu bagian Ibu Kota yang paling intim. Di dalamnya, Anda bisa temukan transaksi dan interaksi. Pasar tradisional mengupas identitas masyarakat yang hidup di dalamnya. Beberapa di antaranya merupakan bangunan tertua di Jakarta. Tanpa pasar, kota ini tidak akan pernah sama.
Ketiga kawan saya ini berprofesi sebagai guru di sebuah pusat institusi bahasa. Setelah mencocokkan waktu dengan jadwal mengajar mereka yang padat, akhirnya saya menemukan tanggal yang cocok. Saya akan membawa mereka ke tempat yang bahkan sebagian kalangan masyarakat tertentu di Jakarta mungkin belum pernah menyinggahinya.
Pagi masih sangat muda, dan kami sudah tiba di destinasi pertama. Pada tahun 1793, warga Batavia menamakannya Vincke Passer, lahir dari inisiatif Justinus Cornellis Vincke untuk mendirikan pasar di sekitar Istana Weltevreden—yang kini menjadi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto. Hingga kini Anda mengenalnya dengan nama Pasar Senen. Langit masih gelap pekat, namun di hadapan kami terbentang tenda-tenda dengan warna kuning dominan menyiram mata. Saat itu subuh dan ratusan orang lewat berlalu-lalang, beraktivitas tanpa mengenal waktu. Dari semua kehebohan itu, hanya satu kata kuncinya: kue. Sebelum lebih masuk ke dalam area pasar, saya membekali pengetahuan dasar kepada Helen, Emily, dan Guy. “Ingat, kue-kue kecil biasanya seharga Rp800, yang sedang sekitar Rp1.000, camilan khusus biasanya seharga Rp5.000 dan kue yang besar paling mahal Rp30.000.”
05.57 WIB.
Saya bisa merasakan mimik wajah mereka berubah ketika di hadapan kami terhampar ratusan meja dan ratusan orang pula yang sibuk berlalu lalang dan teriak bersahutan menawarkan kue-kue. “Saya tidak menyangka akan sebesar ini,” kata Helen pada saya. Matanya yang indah membelalak keheranan. Mayoritas orang-orang yang mendatangi pasar kue subuh ini membeli kue, untuk dijual lagi di tempat lain. Kue kecil dengan harga satuan Rp 800, bisa didapatkan seharga Rp 400 apabila dibeli dalam jumlah banyak. Dari meja-meja kayu sederhana, kue-kue lezat ini akan menyebar ke berbagai tempat dan acara berbeda—mulai dari lamaran, ulang tahun, rapat-rapat kantor, hingga pengajian. Ketika pertama kali digagas pada tahun 1983, penjual kue di sini bisa dihitung dengan jari.Kini, terdata lebih dari 750 penjual kue yang selalu hadir setiap subuh.
Jangan suruh saya untuk menjelaskan satu persatu jenis kue apa saja yang ada di pasar ini, dari kue lapis, bolu, kue tart, bacang, sosis solo, semar mendem, pukis, lemper, berbagai macam kerupuk, juga gorengan. Dari ragam pilihan tersebut, kue lupislah yang membuat Emily jatuh cinta. “Teksturnya aneh, tetapi rasanya semakin menarik di detik-detik selanjutnya,” paparnya semangat. Guy yang sudah benar-benar “terbangun” dari tidurnya, tampak memperhatikan dengan seksama setiap kue yang dilewatinya. “Saya suka bagaimana mereka membuat kue-kue ini menjadi sangat berkarakter, mengkombinasikan bahan dasar, bentuk, ukuran dan juga warna. Persis seperti melihat Indonesia, melalui kulinernya.” Selaras dengan jenis kuliner lain di Indonesia, kue juga memuat unsur adat, etnis, dan kultur tertentu. Keunikan itu memberikan nilai tersendiri ke dalam asalnya, menyatu dengan identitas bangsa, dan memanjakan lidah Anda.
Akhirnya surya sudah memancar lugas ketika seorang ibu penjual jamu dengan ramah menawarkan beras kencur.Saya pesan empat untuk masing-masing dari kami.Saya tidak berkata apa-apa, takut merusak kejutannya. Setelah bersulang, kami menyesap beras kencur itu sambil memperhatikan mimik muka satu sama lain. Helen memberikan ekspresi bingung dan Guy berhenti menenggak, menyisakan gelasnya setengah terisi. Tak disangka, Emily mampu menghabiskan seluruh isi gelas.
Dari luar pasar, deru kendaraan bermotor mulai memenuhi telinga. Bagi mereka yang ingin tiba di kantor tanpa harus menempuh kemacetan lalu lintas— yang terkadang tidak logis—pilihan satu-satunya adalah mengakhiri tidur dengan lebih cepat untuk berangkat ke pusat aktivitas lebih pagi dari orang-orang lain. Sebelum menghadapi pekerjaan, para pengendara diharuskan “berpesta” dulu di jalan raya.
Bicara pesta, seiring dengan sinar matahari pagi yang makin benderang, satu persatu penjual kue di Pasar Senen mulai menutup dagangannya.Kami harus menyudahi “pesta kue di pagi buta” dan melanjutkan perjalanan ke destinasi berikut.Kami melintasi jalur di mana Katedral dan Istiqlal berdiri berseberangan, dan mengambil jalur kiri di mana Gedung Kesenian Jakarta berdiri di sebelah kanan.Pasar Baru menyambut para pendatangnya dengan gerbang tua beraroma Tionghoa dari bata. Tertulis di atasnya “Passer Baroe–1820.”
10.25 WIB.
Saya memarkirkan mobil di pinggir sungai. Bersamaan dengan kami memasuki area Pasar Baru, orang-orang juga berdatangan dari segala penjuru. Pasar Baru kini sangat berwarna. Bila Anda datang pada era abad ke-18, mungkin yang Anda temui hanya segelintir toko, dari toko Lie le Seng (menjual peralatan kantor dan tulis menulis), toko Sin Lie Seng (toko sepatu yang sangat tenar di zamannya), Toko Kompak (bekas kediaman tokoh Tionghoa terpandang, Tio Tek Ho) dan juga toko jamu Nyonya Meneer. Hingga hari ini, toko-toko tersebut masih ada dan beroperasi.Namun kini pamornya sudah menurun, kalah disalip oleh toko dan merk-merk yang lebih baru.Dari kejauhan juga terdengar para penjaja barang dagangan mengadu teriakan mereka. “Bapak ibu ini dompet saya bakar, saya lempar ke jurang, saya kasih ke macan juga tetap ada di kualitas teratas!” Belum selesai saya meperhatikan tukang dompet kulit itu berkhotbah, dari arah kanannya sudah ada teriakan yang berbeda.”Sudah dari zaman anak Adam, manusia sudah pergi ke bulan, ini eranya internet masa iya baju bapak-bapak ibu-ibu masih saja bernoda?” tutur seorang penjaja produk deterjen pembersih kotoran.Suasana yang gempita dan juga sangat hidup.
Etalase-etalase kaca yang mengilap, memamerkan banyak benda yang menggoda untuk dihampiri.Mungkin pada abad ke-19, di tempat ini hanya ada Sin Lie Seng yang menjual sepatu-sepatu kulit yang perlente. Namun kini barang tersebut berjejer banyak sekali dengan berbagai pilihan model, ukuran, dan warna.
“Dulu itu asalnya dari jalan Rijswijk semua, dek. Sekarang namanya Jalan Veteran,” sambung Bachtiar. Saya menemukannya duduk di samping sebuah kotak dengan hiasan warna-warni.Setelah didekati dan diperhatikan dengan seksama, ternyata kotak tersebut memajang uang-uang kuno dari berbagai penjuru dunia dan rentang masa.Adanya penjual uang kuno memang bukan hal baru di Pasar Baru.
Pria lanjut usia 74 tahun ini sudah 12 tahun menggeluti usaha uang kuno. Setiap hari, ia menempuh perjalanan Bogor–Jakarta pp naik kereta rel listrik. Tertarik dengan barang jualannya, saya memutuskan untuk menggali lebih dalam kisah pria lanjut usia yang unik ini. “Sampai sekitar jam satu siang, dek. Mangkal di sini sampai sore, lalu kembali deh, ke Bogor.” Bachtiar tidak sekedar berbisnis uang kuno, namun ia juga seorang kolektor. “Uang kuno itu mengajarkan kita untuk menghargai sejarah. Gimana gak menghargai, wong semakin lama uangnya, harganya semakin mahal,” kata Bachtiar, disambung gelak tawa kami berdua. “Tiga tahun lalu, saya membeli mata uang Indonesia tertentu. Saat itu harganya 800 ribu saja.Kini, harga mata uang itu sudah mencapai tujuh juta rupiah!” paparnya semangat. Seorang calon pembeli menghampiri Bachtiar dan saya terpaksa menghentikan percakapan dan kembali melangkah.
Bicara tentang Pasar Baru, tidak lepas dari komunitas Tionghoa. Pecinan membentuk urat nadi aktivitas di Pasar Baru, jauh sebelum pedagang-pedagang dari berbagai penjuru tempat masuk ke tempat ini. Bila Anda masih belum cukup bukti, bisa kunjungi Vihara Sin Tek Bio di antara Toko Nyonya Meneer dan Plasa Metro Atom. Letaknya yang terpencil tidak membuat keberadaan kuil ini menjadi tidak penting. Bangunan yang ditaksir sudah berdiri sejak abad ke-17 ini memuat ratusan patung bersejarah. Saya menjajaki lantainya yang agak berdebu, mencoba untuk menyatu dengan warna merah-kuningnya yang mendominasi. Tiba-tiba dari jauh Helen memanggil, dan saya baru sadar sejak tadi terpisah dengan ketiga sahabat saya.Saya bergabung dengan mereka, dan melanjutkan perjalanan.
13.53 WIB.
Dari padatnya kawasan Jakarta Pusat, kami beralih ke Jakarta Timur—yang sama padatnya. Daerah timur Ibukota kental dengan nuansa permukiman, kawasan militer, bahkan beberapa area industri.Namun di antara semua itu, saya mengarahkan kemudi ke Pasar Jatinegara.
Sebelum tahun 1942, area ini bernama Meester Cornelis. Semasa bangsa Indonesia dijajah oleh pasukan dari Negara Matahari Terbit, lokasi ini berganti nama menjadi Jatinegara—bermakna Negara Sejati, ditahbiskan oleh Pangeran Ahmad Jayakarta. Ia mendirikan permukiman di area Jatinegara Kaum (sekarang Pulo Gadung). Kisah lain mengatakan bahwa nama Meester Cornelis lahir dari seorang pendakwah Katolik berdarah Portugis yang bernama Cornelis Senen. Menurut berbagai buku dan sumber, di daerah ini dulu dibangun benteng yang kokoh.
Geliat peradaban di Meester Cornelis semakin bergairah, karena tempat ini juga menjadi titik temu dari berbagai tempat lain di Batavia seperti Kota, Tanjung Priok, juga Manggarai. Variasi jenis transportasinya pun berbanding lurus dengan perkembangan teknologi, dari trem bertenaga kuda, trem uap, sampai kereta api yang mampu mencapai Buitenzorg (Kebun Raya Bogor). Sekali lagi, sejarah membuktikan bahwa pasar memberikan pengaruh besar, membentuk wajah Jakarta.
Setelah saya ceritakan kisah di balik Jatinegara, Emily pun berkomentar, “Melihat dari sejarahnya, masyarakat Jakarta seharusnya belajar lebih banyak dari pasar di sekitar mereka. Kisah di balik setiap pasar cukup menjelaskan bahwa kebudayaan, tradisi, dan aktivitas yang terjadi di dalam pasar merupakan potret wajah masyarakat sejak zaman dulu kala. Untuk mendatangi pasar-pasar seperti ini merupakan langkah baru untuk kenal lebih dalam lagi seperti apa wajah ibu kota.”
Jelajah pasar kali ini kami mulai dari jejeran mainan anak di tempat yang juga dikenal dengan nama Pasar Gembrong. Lokasinya bisa dicapai dari Kampung Melayu, mengambil arah kiri ke arah Duren Sawit, melintasi kolong flyover dan terletak di ujung terowongan. Setibanya, mata kami langsung dipapar oleh warna-warna cerah aneka mainan anak. Di tempat ini, Anda bisa mendapatkan mainan dari berbagai macam rentang harga, dari Rp 2.000 – Rp 500.000.Variasi mainan anak laki-laki, seperti bola plastik, pedang-pedangan, mobil-mobilan, hingga mainan robot. Sementara pilihan mainan perempuan, seperti boneka, rumah-rumahan, dan peralatan mainan masak juga lengkap tersedia.Salah satu yang tersohor namanya adalah Toko Mainan Kawan Lama.
Tidak lama kami menghabiskan waktu di surga mainan anak-anak, karena warna-warni yang serupa juga ada di dalam Pusat Grosir Jatinegara (PGJ).Barang yang dijual kali ini, sangat lekat dengan budaya bangsa Indonesia.Dalam setiap aca-ra pesta pernikahan, sudah bukan hal aneh bila tamu-tamu yang da-tang disuguhi suvenir atau kenang-kenangan.Anda bisa me-nemukan barang-barang unik seperti kipas, dompet, gelas, kerajinan tangan dengan bahan dan juga pernak-pernik lainnya.
Helen dan Emily tampak seru berkeliling dan mencari-cari su-venir yang menarik, sementara Guy tampak kalem saja melihat-lihat tanpa membeli.Para pedagang yang berjualan di sini tidak ha-nya melayani pembeli dari dalam negeri. Pelanggan dari Singapura, Abu Dhabi, Malaysia, juga Thailand, kerap ber-da-tangan mencari-cari suvenir yang menarik. Saya menemukan toko yang sudah menggeluti bisnis ini selama lebih dari setengah abad, dan sudah berhasil menumbuhkan usahanya hingga tiga kali lipat, termasuk membuka tiga toko lain di lokasi yang sama.
Masih banyak sudut yang belum kami datangi di Pasar Jatinegara, namun hari semakin sore, dan saya masih punya satu tempat lagi untuk menutup perjalanan panjang kami. Kembali menuju ke tengah Jakarta. Pasar yang satu ini disebut-sebut sebagai pusat grosir terbesar se-Indonesia, di mana namanya terdengar oleh “Pakcik Malaysia” hingga “Saudagar Item” dari Afrika.
16.57 WIB.
Kami memasuki padatnya lalu lintas di depan Pasar Tanah Abang. Benak saya melompat ke kisah ratusan tahun lalu ketika pasukan Mataram mendarat di Batavia, dan menjadikan kawasan ini sebagai pusat markas dan pangkalan. Pada masa kolonial, kawasan ini merupakan perkebunan dan bertanah merah atau abang dalam bahasa Jawa. Diperkirakan nama Tanah Abang berasal dari situ, “Tanah Merah.”
“Semua tempat yang didatangi punya kesamaan; bernilai sejarah tinggi, mewadahi aktivitas-aktivitas yang mempunyai rotasi tinggi. Walaupun kini sudah beralih fungsi, namun pasar-pasar ini tetap memuat tradisi yang sama,” Helen melemparkan pendapatnya pada saya.
Dari banyaknya kaum pendatang, bangsa Arab adalah salah satu yang paling banyak menetap di daerah Tanah Abang.Pada tahun 1920, tercatat ada sekitar 14 ribu pendatang asal Arab yang menetap di Tanah Abang. Alasan yang samalah yang menjawab, kenapa kami bisa menemui banyak oleh-oleh haji dari Jazirah Arab dijual di pasar ini.Pada awalnya, barang-barang ini diantarkan langsung dari Arab, dibawa para petugas dan kru penerbangan saat mereka mendapatkan penugasan ke Arab. Namun seiring dengan berkembangnya peserta ibadah ke Tanah Suci, akhirnya barang-barang ini diimpor secara resmi oleh pengusaha di Jakarta.
Saya menghampiri dan melihat-lihat. Terpampang berbagai jenis pilihan buah kurma, di antaranya yang berasal dari Tunisialah yang berharga paling mahal.Untuk membeli kurma Tunisia sebanyak 10 kg saja, Anda harus mengeluarkan uang sebesar Rp 275.000.Selain asal Tunisia, ada juga kurma dari Abudabi, Yaman, Madinah, dan Mesir. Selain kurma, saya juga menemukan penganan yang lain seperti kacang arab, sari kurma, kacang petasios. Ada juga peranti yang khas seperti teko kuning ala Arab. Lainnya, tidak ketinggalan air zam-zam.
Saya mengajak Helen dan Emily untuk mengelilingi lantai demi lantai Pusat Grosir Tanah Abang. Sambil menunggu mereka melihat-lihat kain, saya terlibat obrolan seru dengan Yoyon, yang sedang bersantai—mendinginkan suhu tubuh dengan kipas bambu di depan kiosnya. “Langganan kan, gak selamanya harus nongol di depan toko. Saya udah punya pelanggan tetap dari berbagai negara. Ada satu istri pengusaha asal Malaysia yang selalu pesen bahan sama saya, Mas,” jelas Yoyon, yang biasa berkomunikasi dengan pelanggan dari luar Indonesia via surat elektronik. Hingga kini, jaringan Yoyon tersebar dari mulai di Kalimantan, Malaysia, dan tak jarang langsung dari Arab dan Mesir.
“Itu ibu-ibu pejabat di Malaysia sono kalo mau kondangan, kudu bikin baju, kan. Nah, saya itu yang kasih bahannya. Kadang udah janjian kalo mereka lagi pelesir ke Jakarta, saya suruh ke sini, terus dikasih diskon dah, tu,” imbuhnya. Selain Yoyon, tentu banyak juga penjual serupa.
18.34 WIB.
Matahari sudah tidak lagi menemani Jakarta. Seiring kami meninggalkan Tanah Abang, orang-orang juga berduyun-duyun pulang. Di dalam benak, saya sudah menyiapkan diri untuk berpesta lagi di antara kemacetan lalu lintas. Di hari ulang tahunnya sekalipun, Jakarta tidak membiarkan mobil-mobil bebas dari berdesakan di jalanan. Jiwa-jiwa yang lelah memburu waktu untuk kembali pulang ke rumah.
Dari sekian banyak wajah Jakarta, saya berhasil memperkenalkan salah satu sisi lain kepada ketiga guru muda ini. Pasar me-rupakan bagian tidak terlepaskan dari Jakarta.Di dalamnya tersimpan sejarah, interaksi, juga peradaban manusia. Pasar menjalankan darmanya sebagai jembatan antara tradisi dan generasi. Tidak mudah untuk bisa mencintai Jakarta. Sosoknya begitu besar, rumit, dan membingungkan—kadang membuat kita putus asa untuk bisa menghadapinya. Dari semua kerumitan itu, satu hal yang membuat saya tersenyum lega: melalui seluk-beluk pasar, saya menyadari salah satu cara menikmati Ibu Kota. Di antara riuh dan sesaknya, tempat ini adalah anjungan napas peradaban.
Kisah ini pernah dimuat di majalah National Geographic Traveler edisi Juli 2011.
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR