Tidak lama kami menghabiskan waktu di surga mainan anak-anak, karena warna-warni yang serupa juga ada di dalam Pusat Grosir Jatinegara (PGJ).Barang yang dijual kali ini, sangat lekat dengan budaya bangsa Indonesia.Dalam setiap aca-ra pesta pernikahan, sudah bukan hal aneh bila tamu-tamu yang da-tang disuguhi suvenir atau kenang-kenangan.Anda bisa me-nemukan barang-barang unik seperti kipas, dompet, gelas, kerajinan tangan dengan bahan dan juga pernak-pernik lainnya.
Helen dan Emily tampak seru berkeliling dan mencari-cari su-venir yang menarik, sementara Guy tampak kalem saja melihat-lihat tanpa membeli.Para pedagang yang berjualan di sini tidak ha-nya melayani pembeli dari dalam negeri. Pelanggan dari Singapura, Abu Dhabi, Malaysia, juga Thailand, kerap ber-da-tangan mencari-cari suvenir yang menarik. Saya menemukan toko yang sudah menggeluti bisnis ini selama lebih dari setengah abad, dan sudah berhasil menumbuhkan usahanya hingga tiga kali lipat, termasuk membuka tiga toko lain di lokasi yang sama.
Masih banyak sudut yang belum kami datangi di Pasar Jatinegara, namun hari semakin sore, dan saya masih punya satu tempat lagi untuk menutup perjalanan panjang kami. Kembali menuju ke tengah Jakarta. Pasar yang satu ini disebut-sebut sebagai pusat grosir terbesar se-Indonesia, di mana namanya terdengar oleh “Pakcik Malaysia” hingga “Saudagar Item” dari Afrika.
16.57 WIB.
Kami memasuki padatnya lalu lintas di depan Pasar Tanah Abang. Benak saya melompat ke kisah ratusan tahun lalu ketika pasukan Mataram mendarat di Batavia, dan menjadikan kawasan ini sebagai pusat markas dan pangkalan. Pada masa kolonial, kawasan ini merupakan perkebunan dan bertanah merah atau abang dalam bahasa Jawa. Diperkirakan nama Tanah Abang berasal dari situ, “Tanah Merah.”
“Semua tempat yang didatangi punya kesamaan; bernilai sejarah tinggi, mewadahi aktivitas-aktivitas yang mempunyai rotasi tinggi. Walaupun kini sudah beralih fungsi, namun pasar-pasar ini tetap memuat tradisi yang sama,” Helen melemparkan pendapatnya pada saya.
Dari banyaknya kaum pendatang, bangsa Arab adalah salah satu yang paling banyak menetap di daerah Tanah Abang.Pada tahun 1920, tercatat ada sekitar 14 ribu pendatang asal Arab yang menetap di Tanah Abang. Alasan yang samalah yang menjawab, kenapa kami bisa menemui banyak oleh-oleh haji dari Jazirah Arab dijual di pasar ini.Pada awalnya, barang-barang ini diantarkan langsung dari Arab, dibawa para petugas dan kru penerbangan saat mereka mendapatkan penugasan ke Arab. Namun seiring dengan berkembangnya peserta ibadah ke Tanah Suci, akhirnya barang-barang ini diimpor secara resmi oleh pengusaha di Jakarta.
Saya menghampiri dan melihat-lihat. Terpampang berbagai jenis pilihan buah kurma, di antaranya yang berasal dari Tunisialah yang berharga paling mahal.Untuk membeli kurma Tunisia sebanyak 10 kg saja, Anda harus mengeluarkan uang sebesar Rp 275.000.Selain asal Tunisia, ada juga kurma dari Abudabi, Yaman, Madinah, dan Mesir. Selain kurma, saya juga menemukan penganan yang lain seperti kacang arab, sari kurma, kacang petasios. Ada juga peranti yang khas seperti teko kuning ala Arab. Lainnya, tidak ketinggalan air zam-zam.
Saya mengajak Helen dan Emily untuk mengelilingi lantai demi lantai Pusat Grosir Tanah Abang. Sambil menunggu mereka melihat-lihat kain, saya terlibat obrolan seru dengan Yoyon, yang sedang bersantai—mendinginkan suhu tubuh dengan kipas bambu di depan kiosnya. “Langganan kan, gak selamanya harus nongol di depan toko. Saya udah punya pelanggan tetap dari berbagai negara. Ada satu istri pengusaha asal Malaysia yang selalu pesen bahan sama saya, Mas,” jelas Yoyon, yang biasa berkomunikasi dengan pelanggan dari luar Indonesia via surat elektronik. Hingga kini, jaringan Yoyon tersebar dari mulai di Kalimantan, Malaysia, dan tak jarang langsung dari Arab dan Mesir.
“Itu ibu-ibu pejabat di Malaysia sono kalo mau kondangan, kudu bikin baju, kan. Nah, saya itu yang kasih bahannya. Kadang udah janjian kalo mereka lagi pelesir ke Jakarta, saya suruh ke sini, terus dikasih diskon dah, tu,” imbuhnya. Selain Yoyon, tentu banyak juga penjual serupa.
18.34 WIB.
Matahari sudah tidak lagi menemani Jakarta. Seiring kami meninggalkan Tanah Abang, orang-orang juga berduyun-duyun pulang. Di dalam benak, saya sudah menyiapkan diri untuk berpesta lagi di antara kemacetan lalu lintas. Di hari ulang tahunnya sekalipun, Jakarta tidak membiarkan mobil-mobil bebas dari berdesakan di jalanan. Jiwa-jiwa yang lelah memburu waktu untuk kembali pulang ke rumah.
Dari sekian banyak wajah Jakarta, saya berhasil memperkenalkan salah satu sisi lain kepada ketiga guru muda ini. Pasar me-rupakan bagian tidak terlepaskan dari Jakarta.Di dalamnya tersimpan sejarah, interaksi, juga peradaban manusia. Pasar menjalankan darmanya sebagai jembatan antara tradisi dan generasi. Tidak mudah untuk bisa mencintai Jakarta. Sosoknya begitu besar, rumit, dan membingungkan—kadang membuat kita putus asa untuk bisa menghadapinya. Dari semua kerumitan itu, satu hal yang membuat saya tersenyum lega: melalui seluk-beluk pasar, saya menyadari salah satu cara menikmati Ibu Kota. Di antara riuh dan sesaknya, tempat ini adalah anjungan napas peradaban.
Kisah ini pernah dimuat di majalah National Geographic Traveler edisi Juli 2011.
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR