Kisah sebelumnya: Bagian 1, Bagian 2, Bagian 3
Pulau Nami terbentuk dari luapan Sungai Han di bagian utara, saat pembangunan bendungan Cheongpyeong pada 1944. Sebuah perusahaan perjalanan mengubahnya menjadi taman wisata. Bagi penikmat opera sabun kenamaan Korea, Winter Sonata, pulau seluas enam kilometer persegi ini rasanya sudah tidak asing lagi. Pada era 2002, banyak adegan dari mini seri itu diambil di sini.
Dari Seoul, pejalan akan mencapai Namiseom lebih dulu, sebelum bertolak dengan feri menuju Pulau Nami. Tiket untuk ferry sekaligus berfungsi sebagai retribusi masuk pulau seharga 8.000 won atau sekitar Rp65.000. Kurang dari 10 menit, kaki pun sudah menjejak di “Tanah Winter Sonata". Udara sejuk menyambut, sementara kerindangan pohon Ginkgo biloba dan kastanye menaungi jalan besar yang membelah pulau.
Meski hari masih pagi, ruas yang diteduhi pepohonan itu sudah dipadati pejalan dengan bermacam aktivitas, seperti bersepeda dan berjalan kaki. Aroma tanah dan rerumputan seolah menjadi teman dalam menikmati romantisme pulau. Pada beberapa sisi jalan, terpampang potret yang diambil dari adegan adegan mini seri Winter Sonata merunut lokasi di mana gambar itu diambil. Dari jalan besar, langkah mengarah ke padang rumput luas berhias pepohonan mapel. Tidak sedikit keluarga berpiknik dengan perlengkapan berkemah, dan sementara anak-anak kecil bermain bola, orang tua mereka asyik membaca atau bersantai dalam tenda.
Fasilitas wisata Pulau Nami terbilang lengkap. Tersedia kereta api mini bagi peminat yang ingin mengelilingi seluruh pulau, penyewaan sepeda dan sentra jajanan di mana para penjual makanan dan minuman dikumpulkan jadi satu. Tak heran banyak orang Korea menghabiskan waktu libur di pulau taman ini untuk sejenak menepi dari hiruk pikuk kesibukan Seoul. Tidak heran, bila pemandangan di Pulau Nami hari itu didominasi turis domestik ketimbang turis asing.
Kembali dari Pulau Nami, agenda saya selanjutnya adalah berkunjung ke Istana Gyeongbokgung, yang merupakan istana tertua dari Dinasti Joseon (1392-1910). Setelah mengalami kondisi hancur dalam pendudukan Jepang (1592-1598), kediaman raja ini direstorasi dengan penuh ketelitian oleh pemerintahan Raja Gojong (1852-1919).
Suguhan seru saya dapatkan saat baru keluar dari stasiun kereta Gwanghamun menuju lokasi istana. Di ujung jalan, tempat Gerbang Gwanghamun tengah dilangsungkan upacara penggantian pasukan jaga. Ritual ini adalah reka ulang dari kondisi riil yang dilakukan pasukan kerajaan Korea di masa silam. Beberapa pasukan berbaris mengenakan seragam tentara zaman dulu yang kaya warna dan masing-masing membawa bendera mewakili kesatuannya.
Selesai upacara, saya memasuki pelataran istana yang tampak menawan dengan hamparan pasir halus dan patung berukir membentuk pagar jalan. Sementara bangunan istana di depan saya tampil megah dan sangat anggun. Dalam kompleks Istana Gyeongbokgung, dapat dilihat singgasana raja, juga papan informasi mengenai tata letak dan arti ruangan yang totalnya mencapai 7.700 buah. Dua bangunan terbesar yang menggambarkan kebesaran Dinasti Joseon di sini adalah Paviliun Gyeonghoeru dan Kolam Hyangwonjeong.
Selain istana, dalam kompleks ini terdapat National Palace Museum of Korea dan National Folk Museum of Korea.Bila ingin mendalami sejarah negeri ginseng, National Folk Museum of Korea merupakan museum terbaik untuk mengetahui kon-disi pada era Dinasti Joseon. Mulai kehidupan sehari-hari, seni dan kerajinan, perlengkapan rumah sampai kehidupan masya-rakat Korea dan dinamika perubahan negeri dari masa ke masa dapat dipelajari di sini. Tambahan lagi, replika makanan tradisional serta tipe rumah khas Korea. Pintu keluar museum berseberangan dengan Children Folk Museum di mana terlihat anak-anak berlarian keluar masuk arena permainan dan ruang-ruang bermain.
Ingin tahu akhir perjalanan ini? Simak di sini.
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR