Saya mengamati lokasi bekas studio foto milik Pop dan Ross. Namun, tampaknya bangunan awal studio foto itu sudah berganti bangunan baru. Sebelumnya, saya pernah menyaksikan selembar foto yang mengisahkan rupa studio Fotax. Studio itu merupakan rumah dua lantai berarsitektur Eropa, dengan dua jendela berkanopi yang mengapit pintu utama. Salah satu jendelanya bertuliskan “Fotax”, sementara di dinding bagian bawahnya menyuarakan kesungguhan sang pemilik: “Our Business is Developing”.
Suami-istri itu berjasa lantaran telah mengabadikan kehidupan Surabaya pada awal abad ke-20 sebelum kedatangan Jepang. Meskipun mereka memiliki klien besar seperti Angkatan Laut Hindia Belanda dan Pemerintah Kotapraja Surabaya, pelanggan peroranganlah yang paling banyak menggunakan jasa Fotax.
Baca Juga: Selidik Gedung Algemeene, Cagar Budaya Surabaya yang Kini Dijual
Sayangnya, sekitar 10.000 klise foto lenyap ketika keluarga Pop ditawan Jepang. Pop bersama warga Belanda lainnya ditawan dalam Kamp Ambarawa, Jawa Tengah. Setelah masa perang, keluarga mereka yang tinggal di Belanda menemukan sebuah album foto-foto Fotax. Namun, dari ribuan foto karya mereka, hanya sebagian kecil yang selamat.
Pop wafat pada 1971 dalam usia 78 tahun di Rumah Sakit Bronovo, Den Haag. Jasadnya dikremasi di Krematorium Ockenburgh, Loosduinen. Sedangkan tahun-tahun terakhir Ross dihabiskan di sebuah panti jompo di Gouda, sebuah tempat yang terkenal karena kejunya. Istri Pop wafat dalam usia 97 tahun pada 1995.
Berkat kepiawaian Pop dalam fotografi, yang juga dibantu Ross, kini banyak orang tertarik menyelisik dan menapaki kembali sejarah Surabaya. Pop dan Ross telah mengirimkan kenangan masa lalu ke masa kini. Buku berjudul Soerabaja, 1900-1950: Havens, Marine, Stadsbeeld yang diterbitkan Asia Maior, Belanda, merupakan salah satu buku yang banyak menampilkan fotografi Fotax, hasil jepretan Pop.
Ketika melancongi Surabaya, saya acapkali membandingkan foto-foto pemandangan kota karya Pop dalam buku itu dengan situasi hari ini. Banyak rumah atau gedung perkantoran yang masih mempertahankan keasrian arsitekturnya. Namun, tak sedikit pula bangunan yang sudah berubah wajahnya atau lenyap karena dibongkar. Saya pun berpikir, tampaknya, pasangan itu mencoba mengajak warga Surabaya untuk kembali merenung, apakah kota yang mereka huni saat ini senyaman ketika foto itu dibuat.
Baca Juga: Awal Perjalanan Benteng Kedungcowek Menjadi Pusaka Kota Surabaya
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR