Apabila pergi ke Kota Batu, Jawa Timur, kapan saja, jangan (hanya) pergi ke pusat wisata yang kini makin membeludak. Sesak, antre, berjubel, walau menyenangkan. Pergilah juga ke alun-alun kota. Siapa pun yang datang akan mendapatkan suasana yang berbeda.
Ya, pergilah ke alun-alun kota. Pengunjung kota ini menikmati sentuhan karya rancang bangun, yang dalam jagat ilmu arsitektur disebut arsitektur ruang publik untuk semua.
Tak ada arsitektur ruang publik yang tidak disengaja. Melihat keindahan air terjun, wisatawan akan mengagumi indahnya karya Tuhan Sang Pencipta Alam.
Ruang publik dalam pengertian arsitektur bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Ruang publik bisa jadi bukan tempat rekreasi sehingga bukan tempat yang menyenangkan untuk didatangi, seperti terminal bus yang bising atau pasar yang penuh sesak. Ruang publik sesuatu yang dirancang dengan sengaja untuk kepentingan berkumpulnya orang banyak dengan segala kebutuhan.
Masalahnya, kata Edwin Nafarin (43), pemikir di Biro Rancang Arsitetur "dPavilion" Surabaya, perancang ruang publik lebih banyak memikirkan sisi wisata yang bermuatan komersial dari penciptaan dan perancangan ruang publik.
Contohnya banyak, bahkan sangat banyak, yaitu segala bangunan mal dan plaza. Ruang publik yang memaksa orang hanya berdiri karena tak ada tempat duduk, kecuali orang duduk lalu membayar harga makanan atau minuman.
Melalui gagasan ituah, Alun-alun Kota Batu dirancang. Dengan gagasan itu pula, tempat umum di Batu, seperti taman bermain (theme park) dibuat. Itulah kiranya yang membuat pengunjung wisata Kota Batu akhir-akhir ini meledak. Peningkatannya hampir 100 persen, dari 2,5 juta wisatawan pada tahun 2011 menjadi 4 juta wisatawan tahun 2012. Ini dibenarkan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Batu Mistin.
Di Alun-alun Kota Batu, yang tentu saja bisa dikunjungi dan dinikmati secara gratis, orang mendapati desain yang sudah dibuat dan dirancang bisa dinikmati sebagai taman. Selain membuat air mancur, plaza tempat duduk secara bertingkat, lampion yang menyala, dan aneka patung lampion lucu berukuran besar, seperti sapi dan apel, Pemerintah Kota Batu juga memberikan kesempatan kepada pengunjung untuk naik bianglala.
Bianglala adalah nama sejenis wahana komidi putar yang berputar vertikal, sama seperti yang dimiliki London, Inggris, dan Singapura. Hanya butuh Rp 3.000 per orang, semua orang bisa menikmati bianglala dan kenyamanan gratis serasa masuk ke arena dalam taman wisata yang berbayar. Biayanya, saat pembuatan tahun 2011 melalui dana APBD, sebesar Rp 12 miliar.
Cukup menjelaskan dua sisi Kota Batu. Wisata sebagai proses pemenuhan waktu senggang, seperti dijelaskan pakar media Asa Brigg (Sejarah Sosial Media, 2009, Penerbit Obor, Jakarta) yang dirancang sebagai kegiatan komersial, dan Batu menjadi kota dengan ruang publik yang ramah untuk semua.
Itu berarti, ujar Edwin, tak harus berombongan membayar tiket masuk Rp 45.000 hingga Rp 100.000 per orang untuk menikmati sajian Jawa Timur Park I, Batu Secret Zoo, atau Batu Night Spectacular. Hanya dengan berboncengan sekeluarga, membayar Rp 3.000 di alun-alun, bisa menikmati kesenangan yang sama.
Itulah yang bisa menjadi penjelasan kenapa Batu menjadi demikian ramai oleh hiruk-pikuk wisatawan. Wisatawan berbayar dan wisatawan tanpa bayar. Itu juga yang menjelaskan bagaimana lonjakan pengunjung ke Batu sudah sama atau bisa melebihi Denpasar, Bali.
Batu diam-diam menjadi daerah tujuan wisata baru karena liputan media massa menyebutkan, kunjungan wisatawan ke Bali tahun 2012 sebanyak 3,5 juta orang. Namun, bukan berarti tidak ada masalah di Batu, transportasi dan akomodasi telah lama menjadi masalah dan bisa memengaruhi pendapatan kota wisata Batu. ”Pengunjung Kota Batu sekitar 4 juta orang. Itu jumlah yang tercatat masuk ke tempat wisata di Kota Batu,” kata Mistin.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR