Para pengamen dan pengemis terus berdatangan sehingga membuat para pengunjung di kedai-kedai yang ada area itu merasa tidak nyaman.
Acara yang dihadiri oleh Wali Kota Jakarta Barat (Jakbar) Fatahilah, pada sore hari, berlangsung di Jalan Kali Besar Timur, dekat cagar budaya Menara Kembar milik badan usaha milik negara Tjipta Niaga. Di sebelah gedung cagar budaya tampak gedung cagar budaya lain yang masih direnovasi.
Ironisnya, renovasi gedung cagar budaya tersebut mengubah total arsitektur bangunan menjadi bangunan modern. Hal ini tentu saja bertentangan dengan Undang-Undang Cagar Budaya.
Acara festival itu tak banyak dikunjungi. Publik lebih suka mengisi akhir pekan di Kota Tua itu dengan datang ke kedai-kedai di tepian Kali Besar. Sayangnya, pengunjung kedai yang menikmati kuliner dengan lesehan tak nyaman lagi. Puluhan pengemis dan pengamen berpakaian kumal datang silih berganti.
Tampak dua pengamen cilik datang ke salah satu kedai lesehan, membawa kardus, bertepuk tangan sambil bernyanyi sumbang. Satu menit mereka berlalu, sudah datang sekelompok pria pengamen dengan tindik di hidung, pelipis, dan bibir, dengan rambut bergaya punk.
Tiga menit setelah kelompok pengamen punk ini pergi, datang pengamen biola tunggal melantunkan lagu ”Indonesia Tanah Air Beta”, dengan teknik menggesek biola yang buruk. Beberapa menit kemudian, datang lagi kelompok pengamen cilik dengan cuk dan cak di tangan, menyanyikan lagu yang tidak jelas dengan suara melengking.
Dari belasan pengamen, hanya satu-dua pengamen yang benar menghibur pengunjung. Beberapa pengunjung yang sedang menikmati makanan dan minuman pun kesal dan pergi karena harus merogoh kantung di tengah menikmati hidangan.
Selain itu, berdasarkan pengamatan Kompas, tak ada tempat sampah yang memadai di deretan kedai. Akibatnya, para pengunjung kedai lesehan dan beberapa pedagang di sana memilih membuang sampah ke Kali Besar.
Para pengunjung juga terlihat kaget ketika membayar minuman dan makanan yang mereka santap. Harga yang harus dibayar untuk ukuran pedagang kaki lima (PKL) tergolong sangat mahal.
Sebagai gambaran, untuk harga segelas kopi ukuran minuman air dalam kemasan plastik bertarif Rp 10.000. Bakso yang di lapak kaki lima biasanya Rp 7.000-Rp 10.000 per porsi, di kawasan tersebut naik menjadi Rp 20.000.
Selain itu, puluhan PKL liar yang tidak tergabung dalam Koperasi Pedagang Taman Fatahillah (Kopetaf) masuk hingga kawasan larangan berjualan di taman. Para juru parkir liar dengan seenaknya membuat kawasan larangan parkir dijejali dengan kendaraan, sehingga mengganggu kenyamanan para pengunjung.
Suasana Kota Tua sebagai salah satu destinasi wisata, kondisinya hingga tengah malam kemarin masih jauh dari layak. Penertiban dan pemeliharaan kebersihan di kawasan Taman Fatahillah hanya dilakukan pihak Kecamatan Tamansari dan Kelurahan Pinangsia.
Saat ini, Pemerintah Provinsi DKI sedang menyiapkan alokasi dana Rp 72 triliun untuk merevitalisasi Kota Tua seluas 384 hektar.
Sebelumnya, Kepala Bidang Pengelolaan Daya Tarik Destinasi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Ida Subaidah, beberapa waktu lalu mengatakan, saat ini kawasan Kota Tua tengah berbenah agar semakin jauh dari kesan kumuh dan semrawut, supaya layak menjadi tujuan wisata internasional.
”Acara Kampung Betawi di Kota Tua akan mendekatkan budaya Betawi di kawasan tersebut. Budaya dan sejarah masyarakat Betawi secara akulturatif terbentuk dari budaya China, Arab, Persia, serta Melayu,” katanya. Namun, sayangnya, upaya itu masih jauh dari kenyataan. Di Kota Tua nyaris tidak ada suasana komunitas Betawi yang kuat dan kental.
Kepala Suku Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jakbar Taufik Ahmad mengatakan, kawasan Kota Tua saat ini termasuk dalam lima besar destinasi unggulan dalam daftar tujuan wisata.
”Banyak potensi yang bisa diangkat di wilayah itu. Hal itu tak hanya sekadar untuk pencitraan, tetapi benar-benar menjadi destinasi wisata kelas internasional,” katanya.
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR