Buruknya sistem perumahan nasional saat ini tidak hanya membuat segmen menengah bawah terpuruk. Masyarakat kelas menengah atas pun terancam tidak dapat memiliki rumah, khususnya di wilayah Jabodatebak.
Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (26/11). Akibatnya, Ali memperkirakan, hal ini juga akan membuat angka kekurangan (backlog) perumahan akan naik dua kali lipat. "Sehingga bukan tanpa alasan kami memprediksi backlog perumahan tahun 2013 ini akan menjadi 21,7 juta unit rumah," ujarnya.
Kenaikan harga tanah yang tidak terkontrol saat ini mengakibatkan harga rumah ikut terdongrak. Program subsidi pemerintah yang berfokus kepada kaum MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) pun tidak membuahkan hasil optimal.
Di sisi lain, kaum menengah setingkat manajer dengan penghasilan Rp2,5 sampai Rp7 juta per bulan pun sulit membeli rumah. Dengan penghasilan tersebut, mereka diperkirakan mempunyai daya cicil Rp 1 sampai Rp2,5 juta per bulan.
"Artinya, mereka dapat membeli rumah dengan harga Rp 150 sampai Rp 200 juta. Daya beli ini belum termasuk kemampuan uang muka yang umumnya menjadi salah satu faktor penghambat untuk dapat merealisasikan pembelian rumahnya. Umumnya, mereka juga kesulitan juga untuk mengumpulkan uang muka," kata Ali.
Dengan harga rumah seperti itu, lanjut Ali, akan sulit bagi kaum menengah memiliki rumah di wilayah Jabodetabek. Kalau pun ada, mereka harus memperhitungkan biaya transportasi setiap harinya untuk bekerja di Jakarta sebagai kaum komuter.
"Karena lokasi rumah tersebut mempunyai jarak tempuh jauh dari tempat mereka bekerja di Jakarta. Yang terjadi kemudian, mereka tidak menempati rumah yang ada dan dibiarkan kosong dan kembali menyewa hunian di Jakarta. Dengan demikian, uang cicilan akan tergerus dengan biaya kost atau sewa rumah di Jakarta," lanjut Ali.
Rusunawa
Ali berpandangan, kaum menengah seharusnya dapat membeli apartemen sekelas rumah susun sederhana milik (rusunami) di Jakarta. Namun, dengan kondisi saat ini, apartemen menengah dengan harga Rp150 sampai Rp200 jutaan pun sangat terbatas. Program 1.000 tower yang dicetuskan oleh Jusuf Kalla beberapa tahun lalu gagal diimplementasikan di lapangan dan sampai saat ini tidak ada kebijakan untuk mempertahankannya.
"Karena itulah, sebaiknya Pemprov DKI tidak hanya berkutat dengan penyediaan rusunawa untuk para pekerja informal, melainkan perlu diperhatikan juga hunian untuk kaum menengah. Ini mengingat 75 persen warga Jakarta merupakan kaum komuter yang bolak balik Jakarta setiap hari dan kemacetan semakin menjadi-jadi," kata Ali.
Ali menyarankan, program rusunami untuk kelas menengah sebaiknya mulai dipertimbangkan kembali oleh Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) dan tidak lagi diserahkan kepada pihak swasta. Hal tersebut agar harga dapat dikendalikan.
"Kalangan MBR terjebak, diikuti oleh segmen menengah. Ironisnya, pemerintah tidak tanggap untuk menyelesaikannya. Karenanya, reformasi perumahan nasional tidak dapat menunggu terlalu lama," kata Ali.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR