Jejaknya nyaris lenyap. Yang tersisa hanya tiga pusara sederhana dalam kepungan petak-petak sawah. Padahal, lokasi itu adalah bekas kampung induk Mokel, salah satu suku besar di Kabupaten Manggarai Timur, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Lokasi tiga pusara itu persisnya di Nangge, Desa Rana Mbeling, Kecamatan Kota Komba. Ketiga pusara itu masing-masing berupa onggokan batu. Satu di antaranya dilengkapi potongan batu seperti tiang. Posisinya tak lagi tegak berdiri sebagaimana lazimnya untuk sebuah menhir.
Masih di lokasi yang sama. Jejak peninggalan lain berupa onggokan batu berbentuk masbah. Usianya masih relatif muda. Keberadaannya adalah berkat kepedulian salah seorang tetua Mokel bernama Titus Anggal ketika sang tokoh menduduki jabatan sebagai Dalu Manus tahun 1958. Hingga akhir tahun 1960-an, Manus adalah satu dari 12 kedaluan—pemerintahan setingkat kecamatan bentukan kolonial Belanda—di wilayah Manggarai Timur.
Mengutip kisah sejumlah tetua, seperti Raymundus Mujur (62), Nikolaus Endong (79), Nikolaus Tarung (61), dan Adrianus Salomon (57), yang didukung catatan Pastor John Hairun SVD, kampung induk Suku Mokel di Nangge sudah ada sejak abad ke-17. Nenek moyang mereka bernama Meka La disebut-sebut sebagai leluhur awal yang membangun kampung tua itu, lengkap dengan rumah adatnya yang disebut mbaru niang.
Namun, dalam perjalanannya perkampungan itu secara perlahan ditinggalkan hingga akhirnya punah. Belakangan, lokasinya berubah jadi areal sawah. Turunannya yang disebut wa’u menyebar ke mana-mana setelah berkonsentrasi setidaknya di empat titik di sekitarnya, yakni di Mukun, Manus, Ngusu, dan Deru. Empat titik penyebaran awal Suku Mokel itu kemudian dikenal dengan sebutan wa’u pat atau empat anak suku.
Gayung bersambut
Sejumlah tetua suku Mokel sebenarnya sejak lama berniat membangun kembali rumah adat induk suku mereka di Nangge. Namun niat dan harapan itu terus saja menggantung. Selalu saja ada sejumlah kendala yang mengganjal. Paling utama adalah akibat jejak sejarah Mokel yang makin mengabur hingga memunculkan penafsiran secara simpang siur. Maklum bentangan kisahnya hanya berdasarkan penuturan lisan secara turun-temurun atau tanpa dokumen tertulis.
Juga sebagian kalangan subetnis dari wa’u pat terkesan tak lagi memiliki kebanggaan atau pengakuan penuh atas Mokel sebagai suku induknya. Bagi mereka, titik penyebaran setelah meninggalkan kampung tua Mokel di Nangge adalah induk suku baru. Kendala lain adalah kesulitan menghimpun dana yang dibutuhkan untuk membangun kembali mbaru niang sebagai rumah adat induk suku Mokel.
Niat yang sejak lama menggantung akhirnya menemukan jalan keluar setelah gayung bersambut dengan agenda Pemkab Manggarai Timur. Seperti diakui Bupati Manggarai Timur Yosef Tote, salah satu agenda pembangunannya ke depan adalah penguatan jati diri masyarakat daerah, antara lain melalui revitalisasi jejak budaya.
”Upaya itu antara lain melalui pembangunan kembali sejumlah mbaru niang suku besar di Manggarai Timur, termasuk suku Mokel. Selain bertujuan mendukung pariwisata, mbaru niang nantinya menjadi situs budaya yang secara khusus mengurai kembali jejak budaya leluhur masing-masing sukunya,” kata Yosef Tote.
Seiring agenda Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur, sejumlah tetua Mokel dari perwakilan wa’u pat sejak lebih setahun lalu secara intens berembuk, termasuk melakukan penerawangan secara adat terkait lokasi serta bentuk mbaru niang yang mendekati aslinya.
”Setelah melalui diskusi panjang, akhirnya sampai pada kesepakatan lokasinya harus di bekas kampung lama. Juga bangunannya berupa rumah kolong dan membulat dengan kerangka atap mengerucut di titik puncaknya,” tutur Adrianus Salomon, tetua dari wa’u Mukun.
Kesepakatan terkait lokasi, yang sejak lama pula, menjadi areal sawah tentu saja disertai pengorbanan tidak ringan. Para pemilik sawah harus merelakan lahannya untuk jalan dan juga lokasi mbaru niang beserta pelatarannya. ”Bekas kampung tua di Nangge itu sejak lama terisolasi setelah jalan masuknya dari arah Mukun dan Manus (dua kampung terdekat) sudah berubah jadi sawah. Jika sekarang harus dibuka kembali, memang seharusnya demikian,” sambung seorang tetua lainnya.
Bukan "sese loka"
Rumah adat induk atau mbaru niang Mokel dengan dukungan dana APBD Manggarai Timur akhirnya terwujud, medio Februari lalu. Pengukuhannya melalui ritual adat puncak ditandai penyembelihan seekor kerbau dan babi sebagai hewan kurbannya. Ritual itu dilakukan di lokasi pada 26-28 Februari 2013.
Karena mbaru niang yang didirikan sepenuhnya bangunan baru, pengukuhan secara adatnya seharusnya berupa ritual sese loka. Namun, untuk pengukuhan mbaru niang mokel di Nangge, ternyata ditandai melalui ritual sumir, berarti perbaikan atau kegiatan rehabilitasi bangunan lama.
Tetua utama Mokel, Raymundus Mujur, bersama sejumlah tetua lain mengakui ritual pengukuhan mbaru niang Mokel harus disebut sumir agar tidak dimarahi leluhur atau menyimpang secara adat. Alasannya karena dibangun di lokasi lama. Juga berdasarkan penerawangan secara adat, bentuknya tidak jauh beda dari mbaru niang aslinya. Dengan menyebut sumir dalam ritual adat pengukuhannya, mbaru niang lama seakan tetap ada meski hanya secara mistis.
”Dalam pemahaman secara adat, yang dilakukan kini adalah merehabilitasi, bukan membangun sekaligus peneguhan rumah adat induk atau mbaru niang baru,” tutur Raymundus dari wa’u Ngusu.
Kembali ke tiga pusara tua yang kini persis di depan mbaru niang Mokel di Nangge. Satu di antaranya yang dilengkapi potongan batu seperti tiang dipatikan sebagai kuburan Meka La, leluhur awal sukul Mokel yang juga membangun kampung induknya di sekitar hulu Sungai Wae Mokel itu. Wae Mokel yang bermuara di Laut Sawu termasuk salah satu sungai besar di Manggarai Timur. Alirannya menjadi sumber kehidupan sebagian besar warga sekitar perbatasan dengan kabupaten tetangga sebelah timur, Ngada.
Luasnya pengaruh dan kekuasaan Meka La di waktu lampau antara lain ditandai dengan cakupan wilayah yang jadi hak ulayatnya. Pada setiap kesempatan pemanjatan doa adat selalu disebutkan wilayah hak ulayat suku Mokel sebagai lee’n Poco Nembu, lau’n Sambi Dongang.
Seperti dipaparkan Markus Mujur, tetua juru bicara atau ata kepok suku Mokel, Poco Nembu—yang merupakan hulu Sunga Wae Mokel—adalah nama barisan gunung yang kini merupakan wilayah Kecamatan Kota Komba, Poco Ranaka, dan Elar.
Sementara Sambi Dongang adalah nama kawasan di bagian hilirnya atau kawasan pesisir di tepi Laut Sawu. Maka, hak ulayat Meka La atau suku Mokel sesuai tonggak awalnya kini hampir seluruhnya merupakan wilayah bagian selatan Manggarai Timur. Artinya, tidak ada salahnya membangun kembali mbaru niang di Nangge sebagai situs budaya Mokel.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR