Menandai dan melukai setitik di salah satu ujung elips cangkang yang kuat sekaligus rapuh itu dengan paku, hingga mudah ditusuk jarum suntik untuk mengeluarkan isinya tanpa meretakkan seluruh cangkang ternyata tak lebih mudah daripada segala jenis petualangan alam yang pernah saya lakukan. Dengan bantuan Lita Jonathans, saya berhasil pada telur pertama. Tapi pada telur kedua, retak 1 milimeter di titik ujung membuatnya berkeping-keping kala saya suntikkan air cuka untuk menghilangkan sisa amisnya.
Tapi tahapan yang membuat stres itu lebur oleh canda kami. Menertawakan diri sendiri, dan saling menyemangati ternyata sangat menyenangkan. Ini seperti memantulkan hidup keseharian kita. Tiada yang terlalu mudah, juga terlalu sulit untuk ditaklukkan.
Setelah telur bersih, saya memilih cara menghias paling mudah: memberi lem pada beberapa bagian telur untuk ditempeli gambar hias jadi dan taburan glitter. Saya kagumi hasil hias abstrak (tak beraturan) itu sepuasnya.
Karena telah tahu bagaimana seni membuat kriya telur, saya ‘tak berani’ menawar ketika memilih di antara butir-butir telur angsa, bebek, puyuh, kasuari, emu dan burung onta hias untuk oleh-oleh. Harganya mulai Rp 150.000 hingga di atas Rp 1 juta. Saya kini paham, bukan materialnya yang ‘hanya’ kulit telur, tapi prosesnya yang mesti dan daya seninya yang mesti dihargai. Melihat kesungguhan kami, Lita Jonathans berbaik hati memilihkan telur-telur hias cantik karyanya yang sesuai anggaran kami. Cukuplah kali itu saya membawa dua telur angsa batik yang prosesnya serumit membatik kain.
*) Dimuat di “Ditantang Sebutir Telur,” National Geographic TRAVELER Vol.I, No.3, Mei-Juni 2009, hlm. 48-49.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR