Saya beruntung. Minat khusus tentang lingkungan yang terus tumbuh dan profesi wartawan, membuka kesempatan mengikuti sejumlah ekspedisi ilmiah bahari. Ekspedisi Wallacea Indonesia (EWI) 2004 dan 2005 oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan ke Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara dan Ampana, Tojo Una-una, Teluk Tomini Bay, Sulawesi Tengah membawa saya ke tempat-tempat yang namanya pun baru saya kenal.
Mengikuti para peneliti muda mengukur arus, kadar garam, mendata lamun, bakau, kerang mata tujuh (abalone), menyadarkan saya betapa Nusantara begitu kaya. Keterampilan menyelam ternyata juga bisa membuat saya merasa berguna. Pada EWI 2005 di padang karang bercabang Desa Tete B, Kecamatan Ampana, tim peneliti hanya tiga orang. Tiada pemandu setempat di lokasi yang terakhir diselami 10 tahun sebelumnya. Walau hanya sebagai buddy (mitra selam) – tiap menyelam, minimal berpasangan untuk jaga-jaga – saya bisa mengamati kerja mereka mencatat karang porak poranda akibat bom, yang hanya menyisakan sekitar 20 jenis ikan di titik pengamatan 50x10m.
Tapi rasa was-was menyelam di daerah yang sama sekali tak kami kenal berkurang karena kawan-kawan kecil : anak-anak suku Bajo yang dengan lincahnya sesekali menukik menyelam tanpa alat, menemani kami sampai kedalaman 3 – 10m. Mengharukan.
Ada kalanya, saya terpaksa benar-benar hanya sebagai peserta peliput bila sensus terumbu karang oleh peneliti begitu detail – bukan sekadar mendata umum karang keras atau karang lunak. Misalnya, oleh COREMAP-LIPI di Pulau Mapur, Kepulauan Riau, Juli 2008 dan Stock Assessment of Coral Reef Biota di Kepulauan Seribu, Juli 2007 oleh Terangi/Terumbu Karang Indonesia. Dua kegiatan ini sangat menguji nyali. Dilakukan di “salah musim”, rata-rata arus kencang dan air sekeruh sungai. Saya “menyerah”, tak ikut di beberapa penyelaman, dan salut pada peneliti yang tetap melakukan tugasnya di kondisi alam yang tak ramah.
“Salah musim” juga terjadi saat saya jadi peserta peliput Indonesia Reef 2007, akhir Desember di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Beberapa penyelaman terpaksa dibatalkan karena badai datang lebih cepat. Tapi saya cukup puas dengan pengalaman baru : mengamati ikan berkumpul untuk memijah di terumbu karang subur.
Dari paket Ekowisata Bahari, Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKS) di Pulau Pramuka, saya mengenal pelestarian penyu. Sebagai pejalan, kita bisa mengamati para jagawana menangani penetasan semi alami telur penyu sisik (Eretmochelys imbricata) – walau saya sempat menumpang perahu kecil Pak Saad ke pulau pengabdiannya, rela sendirian berjaga di cagar alam Pulau Perteluran Timur agar telur-telur tak tercuri. Melepas tukik (anak penyu) di timur Pulau Pramuka yang dulu pernah menjadi pantai pendaratan penyu, amat menyentil. Betapa kita telah mengambil lahan hidup mereka.
Soal 3 in 1 ekosistem pantai –terumbu karang, mangrove, lamun– disajikan secara menyenangkan. Dibantu Pak Salim, penerima Kalpataru, saya mencoba menanam mangrove dari bibit yang telah ditumbuhi empat helai daun. Selain menanam lamun, kalau beruntung, jagawana akan menunjukkan saya “buah yang ‘jatuh’ ke atas” – buah lamun yang bisa kita cicipi, bercita rasa agak masam.
Di laguna buatan, kolam apung Balai TNLKS, saya mencangkok potongan karang di bongkah karang mati dengan lem semen, dan meletakkannya di perairan dangkal dengan menyelam atau cukup snorkeling. Kegiatan ini menambah pilihan nafkah nelayan: menjual karang tanpa merusak terumbu. Saat telah tumbuh subur, arena cangkok karang ini cukup indah untuk dinikmati. Tak perlu mencoba menjamah. Every time you touch me, I will die … Demikian kalimat tak terucapkan dari para biota laut.
*) Dimuat di “Jaga Taman Bermain Kita,” National Geographic TRAVELER Vol.I, No.3, Mei-Juni 2009, hlm.79-80.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR