Kayu tetaplah bahan dasar pembuat gitar. Walau banyak penjelajahan bahan, kayu tetap punya nilai sendiri. Tiap gitar mencerminkan watak kayu. Kayu gitar, panjang-lebar-tebal 40x50x5cm adalah batang pohon, kayu gelondongan dengan penggergajian perempat yang menghasilkan potongan kayu bercorak lebih rapat dan menawan. Hampir seluruh potongan digergaji tegak lurus terhadap lingkaran tahunan, menghasilkan corak serat cenderung sama, simetris hingga mudah saat dipadukan.
Dalam proses pembuatan gitar, serat kayu dilihat. Jika lurus, itulah yang diikuti, dan dipotong lagi. Dari proses ini terambil 20 – 30%. Jadi untuk proses ini harus mengincar kayu besar dan paling tidak berumur 40 tahun dengan garis tengah minimal 40cm. “Tak ada kayu besar lagi sekarang. Jadi, kita harus berbaik-baik dengan alam kalau mau dapat kayu,“ Ki Anong dan Awan mengingatkan.
Tak semua kayu lokal memenuhi watak nada yang diinginkan pemesan. Jadi, tetap diperlukan kayu impor dari negeri empat musim. Kayu impor pun harus memiliki kadar air maksimal 12%. Kalau lebih dari angka tersebut, bisa menyusut hingga saat finishing, gitar malah menjadi rusak. Sementara kayu lokal dijemur 1,5 – 3 bulan kering getah, tergantung cuaca. Ki Anong dan Awan berburu sendiri sampai Nagrek, Garut, Sukabumi, dan Jatiwangi, Majalengka).
Sedangkan Gilles De Neve hanya menggunakan kayu padat. ”Gitar saya mahal karena kayunya juga mahal. Beberapa harus impor, dan langka hingga harus menunggu. Misalnya, kayu putih spruce, keluarga pinus yang biasa dimanfaatkan untuk peti kemas, sumpit dan korek api. Maple makin padat, pori-pori kecil, usia makin tua, makin rapat. Mutu terbaik, 1 kubik 2.500 dolar AS. Bila dalam 1 inci ada lebih dari 18 garis serat berarti bagus, dihasilkan pohon tinggi 80 – 100m,“ papar Gilles, ”Saya pernah buat soundboard (daun suara) dan punggung dari jati, sisi dan belakang leher dari mahoni dan fingerboard (bilah jemari nada) dari sonokeling (rosewood). Coba-coba dengan mahoni (Pangandaran), maple (Canada), eboni (Palu). Yang impor cari di internet,” lanjutnya.
Mukti-Mukti yang terlibat di Secco memaparkan, sejak 2003 Secco hanya memakai kayu padat. Tujuannya membangun gitar Indonesia agar “hadir” (diakui) di dunia gitar dunia. Jadi, yang dipilih adalah kayu lokal, cukup terjamin dari penebangan hingga pemotongan. Ki pait (Tithonia diversifolia) yang cukup langka ditanam, tersebar di beberapa daerah Jawa Barat, kayu lunak yang cocok untuk daun suara, tumbuh di sempitan ladang tanaman kayu olahan atau di sela pekuburan desa pinggiran. Bridge, fret, sisi, leher, belakang dengan sonokeling, kayu keras untuk pantulan getaran rambat bunyi. Serat hijau hitam lurus menambah tampilan kekuatan kayu, mudah dibuat lenting untuk sisi, belakang, fret, batang leher. Finishing tak terlalu sulit karena dapat disentuh akhir alami.
“Pak Wenardi Wigono pernah meminta kita coba kayu nangka 100 tahun, kering dari pabrik batik di Pekalongan. Dibuat gitar laras 17, setahun baik-baik saja. Secco juga pernah coba finishing dengan bubuk kemiri. Alami.“
Gitar berbahan dasar kayu utuh memiliki laras (tone) dan keawetan yang sangat baik dibandingkan yang dari kayu lapis. Umumnya spruce (Picea abies) untuk daun suara, mahoni (Swietenia macrophylla King) untuk leher, rosewood/sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb) cukup keras untuk belakang dan sisi, ebony (Diospyros celebica Bakh) untuk fingerboard. Kayu terbaik untuk fingerboard sebelum 1960-an adalah brazilian rosewood, pau rosa (Dalbergia nigra), yang dijuluki “Cadillac” untuk kayu gitar. Kini, kayu itu kayu langka yang dilindungi.
*) Dimuat di “Kisah Sang Gitar : Getar Nada Gitar, Metamorfosis Indah Sepotong Kayu,“ Green Living Guide, edisi khusus NATIONAL GEOGRAPHIC Indonesia, Agustus 2009, hlm.84-89.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR