Di berbagai wilayah pesisir dan dataran rendah di Papua, sagu (Metroxylon sago yang tak berduri dan Metroxylon rumphii yang penuh duri) hadir dalam beragam tradisi bersantap. Sagu bakar, sagu lempeng, dan sagu bola, menjadi sajian yang paling banyak dikenal di berbagai pelosok Papua, khususnya dalam tradisi kuliner masyarakat adat di Kabupaten Mappi, Asmat, hingga Mimika.
Dalam beragam olahan, papeda menjadi salah satu sajian khas sagu, jarang ditemukan di daerah lainnya. Antropolog sekaligus Ketua Lembaga Riset Papua, Johszua Robert Mansoben, menyebut papeda lebih dikenal luas dalam tradisi masyarakat adat Sentani dan Abrab di Danau Sentani dan Arso, serta Manokwari.
Mengolah sagu menjadi papeda membutuhkan perkakas belanga, karena jenang sagu harus dibuat dari menuangkan air mendidih dalam saripati sagu. Masyarakat Sentani dan Abrab yang tinggal di Danau Sentani dan Arso memang mengenal satu perkakas wajib untuk merebus air, belanga.
Bentuk papeda yang cair membuat masyarakat Sentani dan Abrab mengenal beragam peralatan untuk menyantap papeda, mulai dari gate-gate atau patahan pelepah sagu yang menjadi sumpit bersantap papeda, hingga mangkuk-mangkuk kayu berukir.
Mansoben menuturkan Kampung Nabar di Danau Sentani dikenal sebagai kampung para perajin gerabah, dan menyebarkan belanga hingga ke kawasan pesisir seperti Tobati. ”Di Pulau Mansinam, para perajin gerabah membuat belanga yang dikenal sebagai uren doreri, salah satu perkakas yang sejak dahulu diperdagangkan di berbagai wilayah pesisir di Papua,” kata Mansoben.
Sagu sendiri, pada masa bahari Nusantara jadi komoditas perdagangan penting dan menjadi perbekalan utama dalam berbagai pelayaran yang menjalin berbagai kerajaan dan kesultanan di Indonesia timur. Begitu melimpahnya berkah sagu, hingga memanjakan masyarakat pesisir dan dataran rendah Papua yang cukup mengandalkan hidup sebagai pemburu dan peramu untuk penghidupan.
”Sebagai pemburu dan peramu, orang Papua tidak mengenal tradisi memperjualbelikan makanan jadi. Sebagai contoh, sulit menemukan masyarakat adat Sentani membuka rumah makan papeda. Itu mengapa sajian papeda di rumah makan dan restoran berbeda citarasa dengan sajian papeda rumahan orang Sentani. Citarasa rumah makan papeda memang kerap berpadu dengan beragam kuliner khas daerah lain, khususnya Manado,” kata Mansoben.
Ada banyak kisah kehidupan masyarakat adat di pesisir dan dataran rendah Papua dalam semangkuk papeda. Tapi jangan lupa, papeda juga menyimpan kelezatan citarasa terbaik bersantap sop ikan. Sekulum papeda lembut, berbalur kuah kuning, hmmm..
Beradaptasi dengan Zaman, Tokoh Pemuda Wewo Sadar Kebutuhan Energi Ramah Lingkungan
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR