Kalau saja ada penghargaan yang layak dianugerahkan kepada Raden Bei Aria Wirjaatmadja, ia layak menerima Nobel untuk jasanya memberdayakan rakyat kecil dengan kredit usaha lewat De Purwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Bestuur Ambtenaren (Bank Bantuan dan Simpanan Milik Pegawai Pangreh Praja Berkebangsaan Pribumi), pada 16 Desember 1895, layaknya Muhammad Yunus dengan gagasan serupa seabad kemudian lewat Grameen Bank (Bank Desa).
Pikiran ini langsung mencuat kala saya bersama tim mengunjungi Museum Bank Rakyat Indonesia (BRI) pusat kota Purwokerto.
Menakjubkan. Gagasan cikal bank pemerintah pertama Indonesia ini muncul di pelosok Jawa, kini ibu kota Kabupaten Banyumas. Di museum dua lantai di seberang kantor pusat BRI Purwokerto, terbuka untuk umum dan gratis itu, diorama menggambarkan kejelian peduli patih pada warganya. Ketika hadir di khitanan anak guru, ia heran atas sajian hidangan: mewah, melimpah, mengundang pembesar dengan pertunjukan Tayuban. Padahal berapalah pendapatan guru pribumi di masa penjajahan? Ternyata ia berutang riba tinggi ke rentenir.
Tercetuslah ilham mendirikan Bank Perkreditan Rakyat atau Bank Priyayi agar tak terjebak gaya hidup tak patut. Koleksi yang tertata apik mungkin nyaris serupa dengan yang kita dapati di Museum Bank Mandiri dan Museum Bank Indonesia di Kota Tua Jakarta. Seperti, bahwa Nusantara telah mandiri secara ekonomi sejak masa kerajaan-kerajaan yang tergambar dari mata uang suarna (emas), ma (perak), gobog (perunggu) Majapahit, lalu terjeda penjajahan VOC, Hindia Belanda, pendudukan Jepang, masa mempertahankan kemerdekaan dengan ORI (Oeang Repoeblik Indonesia, 1947), bahkan pemerintahan Portugis di Timor Timur. Peran BRI ke seluruh Indonesia, antara lain di Tarakan, Pacitan lewat sajian peralatan bank bersejarah macam kast mesin hitung, telepon engkol.
Di pekarangan, tiruan rumah Jawa yang dulu jadi kantor pertama Bank Priyayi lengkap dengan diorama dalam ukuran sebenar-nya seperti mengingatkan, bahwa kemerdekaan, bisa dimulai dari kemandirian ekonomi. Semuanya bisa dimulai dari yang kecil, yang ada pada kita. Singgah di Purwokerto, yang selama ini saya kenal lewat oleh-oleh getuk goreng, kripik tempe, dan bahasa ngapak yang akrab jenaka, memberi kesempatan menikmati usaha "kecil" yang bertahan lama.
Dari hotel ke Museum BRI cukup jalan kaki. Kami melampiaskan selera di ruas "kota tua" sepanjang Jalan Jend Sudirman yang dipenuhi toko-toko ber-façade telah melampaui abad.
Kalau saja datang pagi, kami mungkin masih bisa melihat para staf Toko Roti Go (1898) membuat adonan, memanggang kue dan roti di tungku batu toko roti pertama di Purwokerto ini. Kue dan roti ala Belanda dipengaruhi Cina dan lokal: kue bangket, kransyes, amandel, seletar, hounkwe, kopi-bruf, sukade, sobek coklat dan roti go (lima) berisi cokelat, kacang, gula jawa. Saya tertarik dengan irut tul, kue kering semprit dengan irut, semacam ubi, pengganti terigu. "Ada yang menyebutnya sagu," ujar ramah staf. Tanpa pengembang, pelembut, pengawet mungkin agak alot, menandai sarat serat utuh, tapi lebih sehat lezat.
Usaha rumahan di ruas jalan sama, Toko Kue Widaran. Menurut Bapak Winoto dan Ibu Haryanti kami mestinya datang pada pukul 07.00 - 15.00 bila ingin menyaksikan pembuatan Kue Widaran (ketan disangrai, ditumbuk, diadon, dicetak dalam loyang, diiris-iris lalu panggang), dan waluh jipang (ketan digoreng, diberi gula, dicetak dalam loyang lalu dipotong).
Makan malam saya, soto ayam Jalan Bank oleh Haji Loso yang mengerahkan seluruh anggota keluarga meneruskan bisnis keluarga sejak era 1950-an ini. Haji Loso menemui pelanggan denga keramahan seperti di rumah sendiri. Rumah makannya dulu di Jalan Bank yang diambil sebagai pengenal sotonya, lalu pada April 1966 jadi jalan pendiri BRI. Soal ramuan, Haji Loso bukan penganut, "Itu rahasia perusahaan."
Kuah sotonya berasal dari ayam kampung yang direbus 60 menit untuk menghancurkan lemak, lalu diangkat meninggalkan kaldu. Bibit kaldu ini dibuat untuk 4 dandang kuah di atas tungku kayu bakar. Pada hari-hari biasa, ia memerlukan 20 ekor per hari, sementara di hari besar bisa 40-50 ekor per hari.
Soto khas Purwokerto—ada yang menyebutnya sebagai sroto—ini meramu ketupat, soun, tauge pendek, kerupuk mi-kerupuk lokal cap Air Mancur berwarna merah hijau. Diperkaya bumbu kacang yang mirip bumbu pecel tapi tanpa asam jawa. Kekhasan terakhir adalah kecapnya, kecap cap Riboet. Tanpa ribut-ribut, Purwokerto telah memuaskan semangat kemandirian yang terus bertahan, memanjakan perut kami dengan tangan sarat oleh-oleh penganan khas. Santapan ragawi dan rohani. Lengkap.
Sugeng dhahar, ketemu ngemben maning ya. Selamat makan, sampai bertemu lagi.
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR