Suami pencari nafkah utama, sedangkan istri pengatur urusan rumah tangga. Begitu idealnya. Apa jadinya jika yang terjadi justru sebaliknya? Buat suami, mungkin oke-oke saja. Namun, bagi istri? Ada sih yang tabah, meski banyak juga yang kapok, lantas minta pisah.
Sudah sejak zaman dulu, yang namanya suami itu diposisikan sebagai kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Ini lantas diperkuat lewat UU Perkawinan No. 1/1974, pasal 31 dan 34. Suami punya kewajiban melindungi istrinya dan memberikan segala keperluan hidup dalam berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sementara istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Namun, seiring berubahnya nilai-nilai tradisional, pembagian peran dalam keluarga kini cenderung lebih lentur.
"Biar jelek, asal punya!" tukas Rina (33), tiap kali ada yang mempertanyakan, mengapa ia - sarjana lulusan PTN terkemuka, pengajar di lembaga pendidikan komputer - memilih Rudi sebagai suami. "Jelek" yang dimaksud Rina tidak mengarah pada wajah dan sosok Rudi, tapi lebih karena Rudi tak bekerja. Kenyataan itu tidak hanya terjadi di kalangan awam. Dalam komunitas artis pun, kasus-kasus seperti itu mulai banyak tersingkap, dan tak jarang berujung pada perceraian.
Kesempatan pendidikan yang lebih besar bagi wanita membuat kesempatan istri untuk bekerja dan berpenghasilan lebih baik dari suami kian terbuka. Bahkan ada kecenderungan, jumlah istri yang menjadi pencari nafkah utama meningkat. Peran ganda atau justru beban ganda buat wanita? Bagaimana sebaiknya sikap istri?
"Saya tak bisa mengiyakan, karena harus berdasarkan data. Dan seperti biasa, kita miskin data," tegas Winarini Wilman, Ph.D., psikolog dari Program Pascasarjana, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, ketika ditanya apakah benar jumlah istri yang merangkap kepala keluarga kini makin banyak saja jumlahnya. "Saya cuma bisa menyatakan, memang ada sejumlah client yang mempersoalkan ini. Padahal kasus seperti ini sebelumnya tak pernah mampir ke ruang konsultasi," imbuh Winarini.
Bahwa kian banyak perempuan yang terjun ke dunia kerja, itu kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Perempuan zaman ini lebih banyak yang bisa bekerja di banyak bidang ketimbang pria. Bidang-bidang yang dulu identik dengan dunia lelaki, seperti teknik dan bangunan, kini begitu luwes dimasuki wanita. Sebaliknya, pria lebih sulit masuk ke bidang-bidang khas lawan jenisnya. Di Taman Kanak-kanak, misalnya, jarang ada guru laki-laki.
*Artikel ini pernah diterbitkan dalam Majalah INTISARI.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR