Winarini menyarankan, agar tak terjebak dalam situasi sulit macam ini, sebelum menikah sebaiknya bicarakan dengan calon pasangan tentang hal-hal prinsip yang mungkin dijalani dan dialami selama perkawinan, termasuk hal terburuk, ketika suami tak lagi sanggup menjadi pencari nafkah utama, karena hal yang tak bisa dihindari, misalnya sakit berat. Pacaranlah cukup lama, enam bulan setidaknya, untuk mengenal sifat, perilaku, harapan dan apa yang diinginkan masing-masing dan apa yang dinginkan bersama-sama bila perkawinan jadi dilangsungkan.
Dari situ bisa dinilai apakah calon pasangan sudah dewasa dan siap berumah tangga. Suami yang sejak semula tak bekerja karena terlalu dimanja orangtuanya yang kaya - dengan terus dipasok fasilitas dan uang - sebenarnya sedang "dirusak" oleh orangtuanya sendiri. Anak yang sudah menikah sebenarnya bukan "anak" lagi, tapi orang dewasa yang punya tanggung jawab, hak, dan kewajiban yang tak bisa ditawar.
Bicarakan semua itu di awal, karena bila sudah menikah, apalagi punya anak, akan sulit keluar dari masalah, apalagi bila salah satu pihak sulit diajak bekerja sama. Ingat, kita menikah untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tertentu - disayang, diperhatikan, dilindungi, berbagi.
Bila kebutuhan-kebutuhan dasar saja sudah tak terpenuhi (apalagi sudah diwarnai kekerasan), si wanita sendiri yang harus memutuskan, apakah akan bertahan dengan segala risiko dan trik-triknya, atau melepaskan ikatan perkawinan? Pertimbangkan jangan sampai anak-anak mendapat pengaruh buruk dari situasi ini.
Kondisi ideal kesetaraan wanita dan pria sulit diwujudkan, seberapa pun kerasnya usaha ke arah sana. Winarini memberi contoh, di Swedia, hak wanita dan pria disamakan. Misalnya, ketika istri melahirkan, suami mendapat hak cuti untuk mengurus rumah tangga, karena di sana tak ada "budaya" punya pembantu, semua harus dikerjakan berdua. Tapi dari survei, ternyata beban kerja rumah tangga tetap lebih banyak di pundak istri, walau istri juga bekerja.
Jadi, perempuan dengan pendidikan dan pekerjaan yang baik seharusnya bisa mengambil keputusan terbaik bagi diri sendiri dan anak-anaknya. Tidak hanya mengandalkan jargon, "Biar jelek, asal punya!" Atau ikuti motto ini saja? "Biar jelek, asal bekerja."
*Artikel ini pernah diterbitkan dalam Majalah INTISARI.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR