Tidak ada pengorbanan yang lebih tinggi dari seseorang yang menyerahkan nyawanya untuk sebuah perjuangan. Dalam sejarah peperangan, kita tentu sering mendengar tentang pengorbanan jenis ini. Namun, sepanjang sejarah peradaban manusia, tampaknya tidak ada yang seradikal apa yang dilakukan pilot-pilot muda Jepang. Mereka harus menyerang sampai mati.
Di tengah PD II, dalam peperangan Jepang di Pasifik tahun 1944, mereka siap mengorbankan nyawa dalam unit-unit khusus yang telah dipersiapkan dengan taktik menabrakkan pesawat yang mereka kemudikan ke kapal-kapal perang Amerika. Jepang menjuluki serangan yang tak biasa ini sebagai kamikaze atau yang berarti ‘angin dewa’ (divine wind).
Hingga kini, berapa jumlah kapal perang yang berhasil dihancurkan pasukan kamikaze masih menjadi perdebatan sejumlah pihak. Menurut catatan AU Amerika Serikat, Jepang setidaknya telah melancarkan 2.800 serangan kamikaze dan menenggelamkan 34 kapal perang.
Ihwal terbentuk
Pada sore 19 Oktober 1944, pangkalan udara Mabalacat—adalah sebuah kota kecil di Luzon, Filipina—mendadak didatangi oleh Laksamana Madya Takijiro Ohnishi. Inilah halaman awal digagasnya Satuan Kamikaze.
Ohnishi, perwira tinggi AL ini termasuk yang berpegang teguh pada sikap berperang sampai mati. Dalam mendesakkan gagasan tersebut, Ohnishi dipengaruhi sekali oleh campuran antara kepercayaan mistis dan perhitungan praktis akan kemungkinan hasilnya.
Kultus atau filosofi mengenai bushido yang dianutnya, mengajarkan tentang kesetiaan mutlak, kepatuhan, serta pengorbanan diri. Semangat bushido tumbuh, hidup, dan dipelihara di lingkungan Samurai. Dan itulah yang menjiwai kamikaze.
Penderitaan terbayar
Nama pasukan kamikaze yang gugur di medan tugas akan diabadikan di Kuil Yasukuni. Penganut Shinto yang fanatik akan merasa terhormat jika namanya diabadikan di kuil ini, yang merupakan satu-satunya kuil di Jepang yang rutin dikunjungi Kaisar. Kaisar akan mengunjunginya dua kali dalam setahun.
Penderitaan dan pengorbanan mereka akan serta merta “terbayar” setelah Sang Titisan Dewa Matahari menyampaikan doa dan penghargaan khusus.
Percaya atau tidak — keyakinan ini pun telah tertanam sejak dini, dalam benak orang Jepang. Dan lantas kamikaze melegenda.
Meski begitu, ada juga sekelompok orang Jepang yang memandang itu amat berlebihan atau mengada-ada. Seperti Pemimpin Redaksi Harian Yomiuri Shimbun, Tsuneo Watanabe, menganggap bahwa cerita tentang pilot-pilot muda yang mau menjalankannya kamikaze dengan gagah berani dan bahagia, melakukannya sebagai bohong belaka.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR