Angin monsun barat yang basah mengembangkan layar kapal-kapal di Sunda Kelapa, Batavia. Seorang komisaris luar biasa berpangkat kapten berangkat menyusuri Laut Jawa pada akhir 1685, usianya saat itu 36 tahun.
Karier Kapten François Tack cukup brilian. Ketika usianya masih 23 tahun dia bertugas di perwakilan VOC di India, pangkatnya pun naik dari pembantu letnan menjadi calon perwira. Tiga tahun kemudian lelaki kelahiran Amsterdam itu dianugerahi pangkat kapten. Bersama seniornya, Tack turut berperan dalam penumpasan Trunajaya dan Sultan Ageng Tirtayasa.
Sang komisaris luar biasa itu berlayar menuju Jawa dengan tujuan untuk menagih hutang Susuhunan Amangkurat II dan memadamkan laskar Bali yang memberontak kepada VOC. Juga, sekaligus menangkap dedengkotnya—Untung Surapati.
Surapati berasal dari Bali. Dia pernah menjadi budak keluarga pedagang di Batavia. Nama “Untung” dibubuhkan kemudian lantaran sejak ada budak lelaki itu di rumah, sang majikan kerap beruntung. Namun, tampaknya Surapati suka bermain api. Dia menjalin cinta dengan putri majikannya sehingga dia dijebloskan ke penjara. Lagi-lagi karena beruntung, dia bisa melarikan diri dari kurungan VOC.
PADA JUMAT, 8 FEBRUARI 1686, antara pukul 10.00 hingga 11.00, Tack dan pasukannya telah sampai di Kartasura. Beberapa hari sebelumnya dua kompi telah bersiaga di sekitar keraton. Di sinilah Susuhunan Amangkurat II bertakhta di keraton yang baru didirikan sekitar empat tahun sebelumnya.
Serdadu Belanda telah bersiap-siap. Di loji VOC terdapat 150 serdadu, sementara sekitar 40 serdadu bersiaga di dekat keraton. Tack dengan semangat membara bergerak bersama sekitar tiga kompi menuju keraton dengan genderang bertalu-talu. Dia berbekal enam prajurit pelempar granat dan bintara artileri yang membawa tong kecil berisi mesiu dan peluru-peluru. Namun, kesalahan fatal Tack: Meninggalkan meriam, amunisi, dan serdadu tombak di loji.
Sementara itu di sekitar keraton terjadi kebakaran dahsyat. Permukiman para tukang, seniman, dan para abdi keraton sengaja dibakar oleh laskar Surapati, tampaknya aksi ini mendapat persetujuan dari Susuhunan.
Aksi sandiwara pembakaran—bangunan yang sejatinya tak berharga—dan amuk di keraton oleh laskar Surapati menunjukkan seolah Susuhunan pun mendapat perlawanan dari laskar Surapati. Tipu daya inilah yang memperdaya pasukan Tack. Sejauh ini dia belum meyakini tentang kerja sama antara Susuhunan dan Surapati.
DALAM KECAMUK PERANG, kompi-kompi VOC bergerak maju sembari menembak, sekaligus mendesak laskar Surapati yang berada di keraton. Sementara, serdadu-serdadu itu mendapat serangan dari rumah-rumah yang belum terbakar. Kali ini, Tack menghadapi pasukan petualang yang terlatih dengan senjata dan strategi sandiwara.
Strategi Surapati dan ketidakgamblangan sikap Susuhunan menyebabkan Tack berjalan menuju sebuah jebakan. Di alun-alun Kartasura, Tack dan pasukannya tidak pernah mengira akan mendapat perlawanan dahsyat dari laskar Surapati.
Dalam Babad Tanah Jawi, terdapat kisah tentang kemarahan Tack pada saat mendengar Surapati mengamuk. Sang Kapten itu melemparkan topinya ke tanah, menggigiti kumisnya, dan matanya memancarkan warna merah, sembari mengumpat-umpat—“Perdam-perdom.”
Sementara, menurut arsip Belanda semasa, terjadi kebingungan dan kekacauan dalam pasukan VOC. Mereka menembak tanpa membidik, sementara untuk mengisi kembali senapannya perlu waktu. Dalam naungan asap nan gelap, padang-pedang laskar Surapati yang bermata gelap pun dengan mudah menetak mereka.
Dalam pertempuran di alun-alun itu Tack turun dari kudanya. Namun, setelah pengawalnya banyak yang tewas, dia pun bermaksud kembali ke kuda tunggangannya. Malangnya, sebelum kakinya menginjak sanggurdi, dia telah tewas terbunuh oleh laskar Bali yang membabi buta. Saat jenazah Tack ditemukan, terdapat 20 luka tusukan berat di tubuhnya.
TACK MERUPAKAN KORBAN sandiwara persekongkolan. Prajurit Jawa yang diharapkannya bakal membantu menyergap Surapati justru membelot dan berbalik melawannya. Jikalau Tack tidak gegabah dengan meninggalkan serdadu-serdadu tombaknya di loji VOC, barangkali kisahnya tak akan setragis ini. Saat itu bayonet hanya dikenal di Prancis, sehingga serdadu tombak sangat berperan di setiap pertempuran.
“Hanya Tuhan yang tahu, apakah serbuan itu terjadi bukan karena bantuan orang Bali yang mengikuti Sunan,” tulis Letnan Eygel, satu-satunya perwira penyintas pertempuran itu.
Pertempuran Kartasura memakan korban tewas sebanyak 79 serdadu VOC dan satu serdadu dinyatakan hilang. Sementara di pihak Surapati, sekitar 50 orang Bali tewas. Sebanyak 20 luka berat, 15 diantaranya akhirnya tewas dan dimakamkan di tepian Bengawansolo.
Sang Letnan juga bersaksi, sekelompok orang Bali berbusana gelap dengan bersenjata tombak yang muncul dan menyergap serdadu VOC dari permukiman. Bagi serdadu-serdadu VOC yang tercerai-berai dan tak sempat mengisi kembali senapan mereka dengan peluru, demikian menurut Eygel, akhirnya mereka tewas terhunus tombak-tombak laskar Bali.
Peristiwa yang disaksikan Eygel tampaknya mirip dengan pemerian dalam Babad Tanah Jawi. Sunan, dalam babad tersebut, memerintahkan kepada Pangeran Puger, adiknya, untuk membantu Surapati dengan berhias mirip orang Bali. Babad berkisah juga, bahwa Puger berhasil menewaskan Kapten Tack dengan tombak pusaka Kiai Plered.
Arsip VOC dan berita dari Susuhunan menerangkan bahwa pertempuran itu selesai pada tengah hari. Kemudian, hujan pun turun dengan lebatnya. Sementara François Valentijn, seorang pegawai VOC yang saat kejadian tersebut baru bekerja setahun, mengisahkan Surapati merayakan kemenangan itu dengan berpawai keliling alun-alun. Hingga larut malam, suara gending kemenangan bergaung di Keraton Kartasura.
“Pembunuhan Kapten François Tack merupakan salah satu peristiwa yang paling mencolok dalam sejarah VOC,” ungkap Hermanus Johannes de Graff, seorang sejarawan yang berada di Indonesia pada 1926-50. Meskipun demikian, menurutnya, pukulan berat kekalahan VOC itu tidak sebanding dengan perhatian peneliti sejarah tentang topik Tack. “Patut disesalkan,” ungkapnya, “tempat mereka tewas tidak diabadikan dengan sebuah monumen, sekalipun sederhana saja.”
Di manakah makam Kapten François Tack? Hingga saat ini berkembang dua pendapat tentang lokasi makamnya: Jepara dan Batavia. Simak kisah selanjutnya tentang makam sejati Sang Kapten yang malang itu.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR