Tertarik menyaksikan Tari Caci? Ikuti jejak saya saat menyinggahi Desa Liang Ndara, di bukit kecil Tondong Melo berlereng penuh pohon kopi, cokelat, rambutan. Di sini. terdapat dua rumah panggung adat Manggarai Barat, Sanggar Compang To’e, altar desa (compang) suku Toe yang pada 1940-an nenek moyangnya merantau dari Gorontalo. Sambil duduk di tikar, kami disuguhi pinang sirih dan arak dengan gelas dari batok kelapa setelah maka, pengantar dalam bahasa keramat adat oleh Joseph Ugis, ketua adat yang mengenakan keris, lambang kekuatan pemimpin.
Di halaman, para dara berbaju kurung, sarung, selendang songke dan ikat kepala dihiasi sunting menarikan Tetek Alo, lincah melompat-lompat di antara bilah bambu yang digerakkan membuka menutup oleh peserta lain, mengingatkan tarian serupa di Kalimantan dan Filipina. Biasanya ditarikan malam hari sebagai persembahan korong, pesta panen.
Joseph Ugis memimpin tarian yang menjadi ungkapan syukur pada Tuhan dengan berputar-putar, menyanyi, membunyikan gong dan mengentak nggiring-nggiring, genta kecil pada pergelangan kaki.
Tetua mengenakan sarung, selempang songke, kemeja lengan panjang putih dan ikat kepala batik. Pelaku caci memakai celana panjang putih, sarung, ikat pinggang selempang, dan lalong ndiki, semacam ekot dengan ujung berbulu yang diselipkan di lilitan sarung belakang. Bertelanjang dada dengan panggal, topeng dari kulit penyirat kerbau dengan warna merah (berani), putih (jujur, setia), hitam (pekerja keras) pralambang mbaru gendang (rumah adat), compang (pelindung), tersomba (pengawal), wae tiku (air) dan lingko (ladang), dengan pejojong dan destar, ikat kepala dari selempang songke dan batik.
Tari Caci dilakukan dua pemain berpengalaman dari dua tim. Berbekal tameng toda-koret, dari kulit lembu, ujung bambu, rotan kecil, lekeng (tanaman tali) dan ijuk pralambang bapak-ibu, dan pecut dari rotan dan ekor kerbau, keduanya melompat dari tim, menandak-nandak memancing lawan, mengirim lecutan sembari melindungi diri.
Tak sadar saya meringis ketika seorang pemain terluka di punggung kena pecut. Tapi, itu pertanda baik, pertanda panen bagus di tahun mendatang. Terlecut bukan berarti kalah. Walau terkesan bertanding, Caci bukanlah bertanding untuk kalah-menang. Tapi justru keselarasan antar kelompok adat.
Dalam satu set fotokopian info yang dijual di Compang To’e, Caci justru jadi ajang damai antarsuku. Dulu, saat berdatangan dari barat dan utara Nusantara, suku-suku yang datang dari aneka budaya ini kerap bertikai dalam masalah tanah dan aturan kehidupan. Tapi sedikit demi sedikit, dalam upacara pembukaan ladang, mereka saling mengundang untuk saling memahami.
Pada masyarakat Manggarai, Tetek Alo dan Caci adalah bagian dari tiga hari upacara pesta panen penti, jelang musim tanam baru di rumah adat, ladang dan halaman kampung. Tapi, tamu yang sejak 1966 terus datang dengan jumlah kian banyak, dan ingin pula menikmati, beberapa bagian upacara ini dipersembahkan sebagai pertunjukan.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR