Melakoni pesiar sembari belajar di Pare, Kediri, memberikan pengalaman unik. Sebab, di kota kecil Jawa Timur ini sepeda menjadi alat transportasi yang utama.
Nikmatnya mengayuh kereta angin di Kampung Inggris. Kampung Inggris merupakan nama yang melekat bagi komunitas Desa Pelem dan Tulungrejo, di wilayah Kecamatan Pare.
Setiap aktivitas, entah itu pergi belajar, mencari penganan hingga jalan-jalan, kita tempuh dengan memanfaatkan kereta angin. Selain aktivitas harian, besikal dapat digunakan untuk menjelajahi setiap sudut desa. Hal ini, juga mendorong tumbuhnya penyewaan sepeda.
Pengelola menetapkan biaya sewa per bulan (Rp50.000 – Rp100.000). Dengan mengendarai sepeda, kita dapat main ke alun-alun kota, hutan kota, tugu garuda, candi peninggalan Majapahit, atau ke Gumul, tugu yang merupakan ikon kota Kediri.
Bertujuan untuk menghabiskan liburan sambil belajar bahasa, saya pun mendaftar untuk menjadi siswa di Kampung Inggris. Rupanya untuk mengambil kelas ternyata kita harus terlebih dahulu tahu apa kebutuhan dan sampai di mana tingkat kemampuan kita. Saya sempat bingung. karena selain banyaknya lembaga kursus yang ada, kelasnya pun sangat banyak dan bervariatif.
Ambil contoh, Daffodils. Lembaga kursus ini hanya berfokus pada kemampuan berbicara dalam bahasa Inggris (speaking class). Kelasnya tersedia mulai dari tingkat yang sangat dasar hingga level yang menggunakan bahasa Inggris secara penuh. Ada pula lembaga kursus yang hanya berpusat pada pengajaran grammar (grammar class).
Di Pare, biaya belajar bahasa termasuk terjangkau. Para pengelola lembaga kursus menawarkan harga bervariasi, antara Rp70.000 – Rp175.0000 (program belajar dua minggu hingga satu bulan). Kegiatan belajar mengajar berlangsung dari Senin sampai Jumat. Selain itu, ada pula lembaga kursus yang menyediakan kelas dengan program pertiga bulan dan perenam bulan. Basic English Course, lembaga bahasa tertua di Pare, adalah salah satu lembaga kursus yang menawarkan program enam bulan.
Saya akhirnya memilih camp (asrama) dengan English Area untuk menimba ilmu. Tempat ini semacam asrama siswa—setiap kamar terisi dua sampai empat siswa. Pengelola menerapkan sistem full english.
Dengan begitu, selama kita bermukim, wajib berbicara dengan menggunakan bahasa Inggris. Sejak mata terbuka dari tidur hingga menutup kembali di peraduan, lidah kita harus terbiasa berucap bahasa internasional ini. Apabila ada siswa yang melanggar aturan itu, maka dia harus siap menerima sanksi.
“Hi… My name is Djalil. I’m sixty years old and I’am sailor.”
Sebanyak 28 siswa kelas speak first Daffodils langsung mengalihkan pandangan kepadanya. Perkenalan diri itu telah menyita perhatian seisi kelas. Siapa yang bisa menyangka, bapak berperawakan tinggi, tegap, danberkulit coklat terbakar matahari ini telah menginjak usia yang keenam puluh. Terlebih lagi, dia adalah seorang pelaut. Namun, raut wajahnya tidak menutupi jika dia telah berkepala enam.
Pandangan heran itu pula yang membuat saya memandang sang bapak cukup lama. Bagi saya, yang baru satu hari di sini, situasi itu bukan sesuatu yang biasa. Pria di depan mata membuat sel-sel otak saya bekerja, dan melontarkan begitu banyak pertanyaan. Apa yang memacunya untuk belajar di usia sesenja itu? Apa yang menariknya untuk datang ke Pare?
Pada kesempatan lain, saya bertemu dengan Rachmi. Badannya yang cukup tinggi dan besar tidak menunjukkan jika usianya begitu belia. Sampai dalam suatu percakapan, dia pun berujar, “I’m fifth grade in elementary school”. Saya pun kembali tersentak!
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR