Wanita cenderung enggan melakukan pemeriksaan rutin deteksi dini kanker serviks karena takut merasa sakit atau malu memperlihatkan organ intim kepada orang asing, inilah faktor besar yang menyebabkan jumlah penderita kanker serviks (kanker leher rahim) di Indonesia tetap tinggi.
Berdasarkan data dari Globocan 2012, 80 persen kasus kanker serviks saat ini ada di negara dunia ketiga atau negara berkembang. Di Indonesia diperkirakan 53 juta perempuan Indonesia berisiko mengidap kanker serviks. Hal ini diutarakan oleh dokter obstetri dan ginekologi spesialis onkologi, Andi Darma Putra, di acara Seminar Awam Kanker Serviks SOHO Global Medika, di Jakarta, Jumat lalu (14/2).
Acara tersebut juga dihadiri Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Linda Amalia Sari Gumelar. "Kanker serviks merupakan isu kesehatan yang terkait dengan kesehatan reproduksi perempuan. Sedangkan hak reproduksi adalah hak untuk mendapatkan kesehatan reporoduksi dan kesehatan seksual sebagai bagian dari keseluruhan kehidupan. Perempuan yang terkena penyakit tersebut, tentunya kualitas hidupnya akan menurun," papar Linda Amalia Sari dalam sambutannya.
Linda menyatakan, setiap perempuan tanpa memandang usia dan latar belakang, berisiko terkena kanker serviks. Menurut Linda, tingginya kasus kanker serviks di negara berkembang termasuk Indonesia antara lain disebabkan terbatasnya akses informasi dan pelayanan (skrining ataupun pengobatan) terhadap penyakit ini.
Untuk deteksi kanker serviks dapat melalui pap smear dan Inspeksi Visual Asetat (IVA), tapi kini di berbagai negara di dunia telah mengaplikasikan metode baru yaitu menggunakan teknologi pengambilan sampel cairan serviks sendiri (self-sampling). Metode baru ini merupakan solusi untuk para wanita yang enggan melakukan deteksi dini kanker serviks.
Selama ini, dokter terkadang mengalami kesulitan untuk menganjurkan para wanita untuk melakukan pemeriksaan atau skrining—umumnya pap smear—karena ketidaknyamanan pada saat pemeriksaan. Tetapi melalui metode self-sampling, wanita dapat melakukan pengambilan sampel cairan serviks sendiri secara pribadi di rumah maupun di klinik dokter. Sehingga memudahkan dokter dalam menganjurkan pasien untuk melakukan pemeriksaan awal dalam kanker serviks.
Metode self-sampling bertujuan untuk mengambil sampel Human Papillomavirus (HPV) DNA. Metode ini dilakukan tanpa perlu menggunakan spekulum dan sikat yang bagi sebagian wanita sangat menyakitkan pada prosesnya.
HPV adalah virus yang menginfeksi area kulit dan organ kelamin. Fakta membuktikan, hampir 100 persen kasus kanker serviks disebabkan oleh infeksi HPV. “HPV mayoritas ditularkan melalui hubungan seksual,” tutur Dr. Andi. Ditambahkan bahwa tes HPV sangat penting untuk deteksi dini kanker serviks karena umumnya penderita tidak sadar dirinya sudah mengidap kanker serviks.
Beberapa negara di dunia telah mengaplikasikan teknologi ini, seperti, Belanda, Finlandia, Italia, Jerman, Malta, Spanyol, Singapura, Malaysia dan Thailand. Di Belanda, Italia dan Thailand, metode self-sampling akan dimasukkan ke dalam jaminan kesehatan nasional untuk menurunkan jumlah penderita kanker serviks.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR