Saya tak bisa melupakan kali pertama mengunjungi suku Bajo. Bajo adalah sebutan bagi suku pengelana laut. Mereka suka berpindah dan menyebar sekitar pesisir dan teluk di Indonesia, Malaysia, Filipina dan Myanmar.
Di Indonesia, mereka tinggal seputar Jambi, Riau, Nusa Tenggara (Lombok, Flores, Sumba, Sumbawa), Kalimantan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Maluku Utara. Walaupun tersebar, mereka merasa bersaudara dan satu keturunan. Bahasa mereka pun serupa, hanya berbeda logat.
Suku Bajo yang pertama saya kunjungi tinggal di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara. Mereka tinggal di sapoaka (rumah panggung) rata-rata seluas 2x10 meter di atas tiang-tiang setinggi 2-3 m yang menancap ke pasir atau karang, dan menjorok ke laut. Dari rumah ke rumah dihubungkan dengan titian dari 2-3 bilah bambu. Anak-anak suku Bajo dengan lincah bisa berjalan bahkan berlarian di atas “jalan” sempit itu.
Saya yang belum biasa,tak bisa menjaga keseimbangan, walau sudah berhati-hati, saya pun terjatuh. Air laut hanya sepinggang, tapi tetap saja saya basah kuyup. Orang-orang Bajo tertawa, tapi cepat menolong saya. Mereka mengajak saya singgah di rumah mereka yang terbuat dari kayu dan bambu beratap anyaman rumbia. Ada kamar tidur dan dapur dengan lapohan (tungku ) dan lengga (wadah air) dari tanah liat yang dapat dibawa-bawa untuk keperluan penyiapan makanan keluarga. Walau sederhana, mereka juga memiliki televisi dan parabola.
Mereka sampai sekitar 2003 tinggal di leppa, soppe, bidos (rumah perahu) hingga mudah berpindah-pindah. Tapi kemudian banyak yang menetap di pesisir, bergaul bahkan menikah dengan suku lain. Saat ke Desa Tete B, Kecamatan Ampana, Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah di Teluk Tomini, saya bertemu dengan suku Bajo yang sudah berbaur dengan Suku Bugis, sesama pelaut ulung. Ada yang bertanam kelapa untuk diolah menjadi kopra, bahan baku minyak goreng.
Mereka pandai menangkap ikan (daya), cumi-cumi (suntung), raki (gurita) dengan ringgi, rua, sarapang, serampang (jala) atau tombak berkait. Bahkan mahir menyelam tanpa alam sampai kedalaman lebih dari 10 meter untuk mencari tripang dan kerang mutiara. Mereka memiliki bagang, jaring yang ditambatkan pada perahu, naaeng (perahu kecil) dan guiop, bancas (perahu) yang dilengkapi mesin untuk menangkap ikan dan sebagai kendaraan. Hasil tangkapan mereka ada yang dijual segar, atau dikeringkan, diasap dan diasinkan.
Anak-anak Bajo dilahirkan jadi penyelam alam. Anak lelaki sudah diceburkan ke laut sejak usia dua tahun – pelajaran pertama bertahan hidup di alam. Saat saya ke Pulau Bakau, dekat Pulau Kabaena untuk mengamati lamun (rumpun ilalang laut), tempat para kepiting, ikan, udang bertelur dan membesarkan anaknya, dua anak Bajo menukik sampai kedalaman 5m, hanya mengenakan kacamata renang dari kayu dan kaca bikinan sendiri.
Bertelanjang dada, hanya memakai celana. Sementara saya dan penyelam peneliti mengenakan pakaian, rompi selam, tabung udara, kacamata selam dan kaki katak lengkap.
Di sekitar gosong pasir putih Teluk Tomini selatan, Sulawesi Tengah, beberapa anak Bajo menantang saya. “Potret! Potret!” Tanpa diarahkan, mereka membuat sejumlah formasi cantik. Menukik, jumpalitan, melayang sampai kedalaman 2 – 3m tanpa peralatan apa pun. Tak juga kacamata bikinan sendiri, tertawa-tawa dan membelalakkan mata dalam air bergaram yang pada kita sangat memedihkan mata itu!
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR