Belum seminggu Gunung Kelud meletus hebat, memuntahkan batu kerikil dan abu yang menyebar teror dan ancaman kematian. Namun, dalam rentang belum lewat seminggu itu, pengungsi telah berbondong pulang kampung.
Warga menerobos zona bahaya yang ditetapkan karena mengira sudah tak ada lagi ancaman bahaya. Padahal, rangkaian bahaya letusan Gunung Kelud belum usai. Kini, bahaya itu bernama lahar hujan.
Warga lereng gunung tergesa pulang ke rumah begitu letusan mereda, bukan cuma khas Kelud. Sejarah mencatat, upaya pengosongan gunung-gunung api di Indonesia dari penduduk secara permanen juga selalu gagal.
Setelah letusan dahsyat Gunug Galunggung pada 5 April 1982, misalnya, pemerintah mentransmigrasikan warga lereng gunung ini. Hingga September 1982, tercatat 8.217 warga Galunggung diberangkatkan ke luar Jawa. Faktanya, banyak dari mereka yang kemudian memilih pulang kampung.
Belum lagi, penduduk dari desa lain justru kemudian "menggantikan" warga yang coba dipindahkan oleh Pemerintah itu. Kini, desa-desa yang dulu pernah disapu letusan Galunggung kembali dipadati penduduk.
Fenomena yang sama juga terjadi setelah beberapa letusan Merapi di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Beberapa kali upaya memindahkan penduduk lereng Merapi menemui kegagalan.
Kekuatan militer yang pernah dipraktikkan pada era 1970-an oleh Pemerintah Orde Baru di Pulau Makian, Ternate, kini masuk wilayah Maluku Utara, terbukti gagal. Upaya pengosongan pulau itu dilakukan pada 15 Juni 1975, berbekal bedil, dan larangan menghuni Pulau Makian.
Seperti dituturkan dalam Ekspedisi Cincin Api Kompas, edisi Zona Merah di Kepulauan Rempah yang terbit pada 2012, keputusan mengosongkan Pulau Makian diambil setelah Direktorat Vulkanologi Bandung, sekarang Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, menyimpulkan seluruh wilayah di pulau kecil itu rawan dilanda bencana gunung api Kie Besi.
Upaya pengosongan ini mendapat perlawanan keras. Tak sampai setahun, warga pun kembali berbondong ke pulau gunung api ini. Kini, Makian dihuni lebih dari 20.000 jiwa.
Fenomena terbaru bisa kita lihat dari sulitnya mengosongkan Rokatenda di Nusa Tenggara Timur, sekalipun korban terus berjatuhan saat gunung ini meletus. Seperti Makian, Rokatenda adalah pulau gunung api aktif.
Berkah gunung api
Semua karena pandangan soal berkah. Bagi masyarakat di Nusantara, gunung api tak hanya berarti bencana dan kematian. Gunung api juga sumber kehidupan.
Abu yang disemburkan gunung api saat meletus adalah pupuk alam terbaik untuk menyuburkan tanah. Tak mengherankan, jika penduduk selalu memadati lereng-lereng gunung api yang paling aktif. Semakin aktif gunungnya, semakin padat penduduknya.
Kaitan antara keberadaan gunung api dan kepadatan penduduk ini telah disebutkan oleh ECJ Mohr, dalam The Relation Between Soil and Population Density in The Netherlands Indies (1938).
Profesor ilmu tanah dari Universitas Utrecht, Belanda yang melakukan penelitian di Jawa pada 1930-an ini menyimpulkan bahwa tingkat kepadatan penduduk di Indonesia di masa lalu ditentukan oleh keberadaan gunung api.
Semakin banyak gunung api aktifnya, kian padat penduduknya. Dengan teori ini, dia menjelaskan soal kepadatan penduduk di Pulau Jawa dibandingkan pulau lain di Nusantara.
Tanah-tanah tersubur di Jawa berada di dekat gunung yang tanahnya tertutup abu letusan muda. Utamanya di lembah gunung yang berlimpah air dan cahaya matahari sehingga sangat cocok untuk membudidayakan tanaman.
Mitigasi bencana
Gunung api di Indonesia tak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Tak terkecuali Kelud. Maka, yang harus dilakukan kini adalah bagaimana melakukan adaptasi untuk hidup bersama Kelud, karena gunung ini rutin meletus. Letusannya pun eksplosif dan mematikan.
Pemetaan kepurbakalaan di Kediri oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional bersama Universitas Gadjah Mada pada 1987 menyimpulkan, Kerajaan Kadiri (Panjalu) sering terganggu letusan Gunung Kelud. Selain dampak langsung dari letusan, Kerajaan Kadiri juga terdampak dari banjir lahar Kelud yang dibawa Sungai Brantas.
Kesimpulan itu dibuat setelah tim yang didukung Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan tersebut menyurvei lima situs di sekitar Kediri. Kelima situs itu adalah Lirboyo, Botolengket, Totok Kerot, Sebanen, dan Semen.
Di kawasan ini, peneliti menemukan tembikar, keramik, pecahan genteng dan terakota, serta bekas bangunan lama yang terkubur endapan material gunung api berupa abu, pasir, dan kerikil. Jejak mematikan dari Kelud tercatat saat gunung ini meletus pada 1919 yang menewaskan 5.110 orang.
Pada 1586, letusan Kelud bahkan disebut menewaskan tak kurang dari 10.000 jiwa. Berikutnya, Kelud yang meletus pada 1951, 1966, dan 1990 selalu menyebabkan jatuhnya korban jiwa walaupun tak sebanyak pada 1919 atau 1586.
Di masa lalu, sebagian besar korban jiwa di Kelud jatuh karena tersapu lahar letusan. Kawah Gunung Kelud yang terisi air menyebabkan letusan dari magma memuncratkan air dan menyapu desa-desa di sepanjang aliran sungai yang berhulu di kawah ini.
Letusan Gunung Kelud pada Kamis (13/2/2014) tak lagi demikian. Lahar letusan tak terjadi karena sejak 2007 danau kawah Kelud telah menghilang, berganti dengan munculnya kubah lava.
Namun, bahaya Kelud kali ini tetap tidak hanya berasal dari letusan primernya. Banjir lahar hujan tetap merupakan ancaman, dari banyaknya batuan vulkanik yang dikeluarkan gunung ini saat meletus.
"Saat ini Kelud kembali ke karakter lamanya yang eksplosif," kata geolog dari Badan Geologi, Indro Pratomo. "Namun, letusannya ke depan masih sulit diramalkan."
Bagaimana antisipasi bahaya Kelud ke depannya, menurut Indyo, harus didahului dengan riset-riset terpadu dan mendalam. Inilah tantangan di antara berkah dan bahaya letusan Kelud.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR