Nationalgeographic.co.id—September identik menjadi bulan pertama musim hujan, setelah kemarau. Banyak lagu menyambut kedatangan bulan kesembilan ini dengan suka ria, seperti September Ceria karya Vina Panduwinata, dan September karya Earth, Wind & Fire.
Tetapi juga ada lagu kesedihan, seperti Wake Me Up When September Ends karya Green Day. Lagu itu merupakan bentuk duka cita pada Billy Joe Armstrong yang kehilangan ayahnya.
Seperti lagu Green Day tersebut, Indonesia memiliki rangkaian sejarah pilu pelanggaran HAM pada bulan September, yang bisa disebut sebagai September Hitam. Kebanyakan dari peristiwa itu juga belum kunjung ada penuntasan kasus atau permintaan maaf dari pihak terlibat.
Munir Tewas Diracun
7 September 2004, Munir Said Thalib diracun dalam penerbangannya menuju Belanda ketika hendak melanjutkan studi S2 di Utrecht. Penyelidikan ini sempat melibatkan pihak keamanan dua negara, dan mengumpulkan beberapa orang yang diduga pembunuhnya.
Salah satunya adalah Pollycarpus Budihari Priyanto yang resmi ditahan setahun setelahnya. Tetapi karena penyelidikan yang tidak transparan hingga banyak kejanggalan dalam penyelesaian investigasi, para pegiat hukum menduga ada sesuatu yang lebih besar di balik motif kematian aslinya yang melibatkan penguasa.
Munir dikenal sebagai aktivis HAM yang mengurus kasus-kasus besar seperti peristiwa di Aceh dan Timor Timur, dan penghilangan orang secara paksa di masa senja Orde Baru.
Peristiwa Tanjung Priok
Awal 1980-an, Soeharto sebagai presiden Indonesia saat itu membuat regulasi agar semua organisasi masyarakat harus berlandaskan Pancasila. Tujuan dari peraturan itu, selain menangkal komunisme juga menangkal politik Islam yang sedang tumbuh.
12 September 1984, Amir Biki pengurus masjid As Saadah yang menentang regulasi itu mengerahkan ribuan orang untuk protes ke kantor Kodim Jakarta, setelah dua hari sebelumnya beberapa jamaahnya ditangkap membuat brosur mengkritik pemerintah.
Source | : | Beritagar,kompas,Tirto Id |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR