Kabupaten Kepulauan Aru merupakan sebuah kabupaten kepulauan yang terletak di sisi tenggara Provinsi Maluku, berbatasan langsung dengan Australia di Laut Arafura. Kabupaten ini terdiri dari sekitar 187 pulau, dengan 89 di antaranya berpenghuni.
Dengan tutupan hutan seluas 730 ribu hektare, di Kepulauan Aru tutupan hutan setara dengan 12 kali dari luas daratan Singapura.
Hasil penelusuran Forest Watch Indonesia (FWI) terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Aru 2009-2028 menemukan bahwa 76 persen lahan dari 28 perusahan yang berada dibawah PT Menara Group masih berupa hutan alam.
Sejak awal tahun 2010 Bupati Kepulauan Aru Teddy Tengko—yang hingga saat ini terjerat kasus korupsi APBD Kepulauan Aru dan sedang ditahan— telah mengeluarkan Izin Prinsip, Izin Lokasi, dan Rekomendasi Pelepasan Kawasan Hutan sebesar 480.000 ha untuk 28 perusahan yang seluruhnya berada di bawah bendera PT Menara Group, perusahaan swasta nasional di sektor perkebunan. Kebijakan Bupati Aru tersebut diperkuat oleh Gubernur Maluku kala itu Karel Albert Ralahalu melalui Surat Rekomendasi Pelepasan Kawasan Hutan yang diajukan pada Juli 2011.
“Dokumen-dokumen yang dikeluarkan terkait perizinan ini terindikasi tidak sesuai dengan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 26/2007 butir kelima tentang Penataan Ruang,” demikian Abu Meridian, Koordinator Kampanye FWI dalam pernyataan persnya, di Bogor, Selasa (11/3).
Pengalihfungsian kawasan hutan menjadi perkebunan tebu, langsung berimbas bakal hilangnya habitat tempat hidup dari berbagai jenis hewan endemik wilayah wallacea khas kepulauan Aru.
Satwa endemik seperti cenderawasih (Paradisaea apoda), kanguru pohon (Dendrolagus sp), kakatua hitam (Prebosciger aterrimus), kakatua aru jambul kuning (Cacatua galerita eleonora), kasuari (Casuarius casuarius) yang pernah ditulis dalam ratusan halaman oleh Alfred R. Wallace seratus limapuluh tahun lalu dalam buku The Malay Archipelago, dipastikan kehilangan habitat hidupnya.
“Jika rencana pembukaan perkebunan tebu tetap dilanjutkan, aka nada konversi hutan alam secara besar-besaran, dapat dipastikan keanekaragaman hayati baik di darat maupun di perairan Kepulaun Aru akan punah,” tambah Meridian.
Pembukaan lahan besar-besaran juga akan berdampak kepada keberadaan sosial masyarakat lokal dan adat yang telah bergenerasi mendiami dan hidup di wilayah Kepulauan Aru.
“Konsesi perusahaan secara langsung akan mengambil hak-hak masyarakat atas wilayah adatnya. Sumber-sumber penghidupan masyarakat lokal yang tergantung erat pada potensi alam akan hilang secara cepat. Pemda Maluku melalu rencana pembukaan lahan ini telah menafikan berbagai sektor potensial seperti perikanan dan kelautan— yang selama ini merupakan kekuatan utama pembangunan masyarakat Maluku,” jelas Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR