Para petani keramba jaring apung di Danau Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, kembali merugi miliaran rupiah. Hal ini disebabkan matinya sekitar 100 ton ikan budidaya di danau itu.
Ikan yang mati adalah nila dan mas siap panen, seperti terjadi di Jorong Rambai dan Jorong Ambacang, Nagari Koto Malintang, dalam dua hari terakhir.
Wali Jorong Rambai Hendri Saputra saat ditemui di kawasan Danau Maninjau, Selasa (18/3), mengatakan, seperti kejadian sebelumnya di Nagari Maninjau, Bayur, dan Sungai Batang, kematian ikan di wilayahnya disebabkan cuaca ekstrem berupa angin kencang yang membuat naiknya arus bawah danau. Arus itu membawa racun yang berasal dari limbah pakan ikan dan limbah rumah tangga.
Akibatnya, ikan yang tersebar di sekitar 1.500 petak keramba jaring apung (KJA), termasuk di Jorong Ambacang, kekurangan oksigen lalu mati.
”Minggu sore memang hujan, tetapi setelah itu belum terjadi apa-apa. Kemungkinan naiknya air dasar danau terjadi pada Senin dini hari. Sebab, para petani sendiri baru mengetahui ikan yang mereka budidayakan mati pada pagi harinya,” kata Hendri.
Hendri mengatakan, secara bertahap jumlah ikan yang mati dari Senin pagi hingga Selasa terus bertambah. Sampai dengan Selasa siang tercatat sudah 100 ton ikan yang mati. Jika dihitung harga per kilogram ikan Rp 18.500, total kerugian petani mencapai Rp 1,8 miliar. Itu belum termasuk biaya budidaya selama empat bulan terakhir mengingat ikan yang mati sudah siap panen.
”Untuk mengurangi kerugian, Senin pagi, para petani langsung mengambil ikan mati yang masih segar untuk dijual. Sedikitnya, 20 ton ikan berhasil mereka ambil dan dijual dengan harga Rp 3.000 sampai Rp 5.000 per kilogram,” lanjut Hendri.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Agam Erwanto mengatakan, pemerintah daerah sebenarnya sudah mengimbau petani KJA mengurangi jumlah ikan yang mereka budidaya selama Oktober hingga Maret. Sepanjang bulan itu, cuaca ekstrem yang memicu kenaikan arus dasar danau selalu terjadi. Namun, belum semua petani melakukan hal itu.
Panen lebih awal
Menurut penyuluh perikanan Tanjung Raya, Deni Putra, sampai saat ini masih banyak petani KJA yang melepas bibit ikan 10.000-20.000 per petak keramba ukuran 5 meter x 5 meter. Padahal, dengan jumlah ikan sebanyak itu, setiap kali terjadi upwelling, oksigen akan cepat berkurang dan ikan yang mati akan semakin banyak.
Menurut Guru Besar Pengelolaan Perairan Umum Daratan dan Teknologi Reproduksi Ikan Universitas Bung Hatta Hafrijal Syandri, pemerintah daerah melalui dinas kelautan dan perikanan memang melakukan sosialisasi tentang dampak cuaca ekstrem. Namun, hal itu perlu diintensifkan.
Menurut dia, kearifan lokal alam takambang jadi guru atau belajar dari perubahan kondisi alam, yang sebelumnya berkembang, sudah tidak lagi sepenuhnya berlaku di petani.
”Jalan keluar untuk menghindarkan petani KJA dari kerugian akibat terus matinya ikan adalah dengan mengintensifkan sosialisasi agar petani mengurangi jumlah ikan atau bahkan menghentikan budidaya ikan setiap memasuki musim hujan. Pemerintah harus tegas terhadap hal itu. Jika tidak, kematian ikan tetap akan terjadi,” kata Hafrijal.
Erwanto menambahkan, mengingat kemungkinan masih ada peluang terjadinya kematian ikan hingga akhir Maret, pihaknya meminta petani melakukan panen lebih awal. Petani juga diminta memindahkan keramba mereka sekitar 100 meter ke tengah danau.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR