Sekitar 200 peserta, Jumat (11/4), memenuhi Auditorium Museum Geologi, Bandung, Jawa Barat, untuk mengikuti diskusi dan bedah buku Seri Ekspedisi Cincin Api Kompas. Buku berjudul Toba Mengubah Dunia itu ditulis oleh Tim Ekspedisi Cincin Api Kompas segmen Toba, yakni Ahmad Arif, Amir Sodikin, Indira Permanasari, dan M Hilmi Faiq.
Diskusi dan bedah buku tersebut menghadirkan sejumlah pembicara, yaitu Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dr Surono, Peneliti Museum Geologi Bandung Dr Indyo Pratomo, dan Ahmad Arif sebagai salah seorang penulis buku.
Kegiatan itu diorganisasi para mahasiswa di Bandung yang bergabung dalam komunitas media sosial Twitter dengan akun @komunitaskampus serta terselenggara dengan dukungan Museum Geologi Bandung dan Penerbit Buku Kompas.
Indyo, dalam paparannya, menyebutkan bahwa ekspedisi yang dilakukan semacam itu dan melibatkan jurnalis belum pernah dilakukan sebelumnya. Itu ditambah fakta bahwa Toba, sebagai supervolcano (gunung api super yang bisa memuntahkan minimal 300 kilometer kubik magma ketika meletus) belum banyak ditulis dan dikenal masyarakat. Publikasi ilmiah mengenai Toba juga belum pernah dihasilkan ilmuwan Indonesia.
Padahal, tambah Indyo, letusan Toba sekitar 74.000 tahun lalu telah menjadi semacam simbol dunia untuk peristiwa erupsi supervolcano. Ini menyusul fakta tidak kurang 2.800 km3 material vulkanik yang dimuntahkan Toba ketika itu.
Hasilnya adalah danau vulkanik paling besar di dunia, yakni Danau Toba. Ukurannya 90 x 30 kilometer persegi. Dalamnya mencapai 500 meter yang menjadikannya sebagai lokasi penyimpan air tawar terbesar di dunia dengan volume sekitar 240 kilometer kubik.
“Keunikan lainnya ialah keberadaan pulau di atas pulau dan danau di atas danau, yakni Pulau Samosir yang berada di atas Pulau Sumatera serta Danau Sidihoni dan Danau Aek Natonang yang berada di atas Danau Toba,” sebut Indyo.
Letusan supervolcano Toba juga pernah membuat dunia “gelap” karena badai vulkanik dan konsentrasi aerosol sulfat di atmosfer yang menghalangi sinar matahari sebagai asupan utama kehidupan di bumi. Saat itu populasi manusia diperkirakan menyusut hingga sekitar 60 persen menyusul gangguan pada mata rantai makanan.
Indyo menilai, ekspedisi tersebut sangat penting dan menuliskannya menjadi buku merupakan sumbangan bagi masyarakat serta ilmu geologi. “Pengalaman berharga bagi saya untuk menemani Tim Ekspedisi Cincin Api Kompas pada tahun 2011 untuk mengelilingi Toba,” kata Indyo.
Gunung api terbanyak
Sementara Dr Surono mengatakan, penduduk Indonesia mestinya tidak kaget dengan gunung api yang meletus. “Bahkan untuk Toba yang dikenal sebagai supervolcano,” katanya.
Menurut Surono, hal itu dikarenakan fakta bahwa Indonesia adalah rumah bagi gunung api dunia. Jumlah gunung api di Indonesia, sebanyak 127 gunung api aktif, memastikan predikat sebagai negara dengan jumlah gunung api paling banyak di dunia.
“Sebagian di antaranya pernah meletus hebat, seperti yang masih kita kenal, seperti Gunung Tambora, Krakatau, Samalas (Rinjani), dan Toba,” kata Surono.
Karena itulah, Surono menambahkan, riset terkait fakta itu penting dilakukan serta dipublikasikan terus-menerus. Ini ketimbang membiarkan masyarakat hidup dengan ketakutan-ketakutan yang dibangun tanpa landasan ilmiah.
Taman bumi
Sementara Arif mengatakan, salah satu tujuan dilakukannya ekspedisi tersebut untuk merangsang pihak-pihak lain melakukan dan melanjutkan ekspedisi ilmiah seperti Ekspedisi Cincin Api Kompas. “Termasuk menggugah kalangan peneliti untuk melakukan ekspedisi serupa,” sebutnya.
Adapun buku Seri Ekspedisi Cincin Api Kompas berjudul Toba Mengubah Dunia terdiri atas enam bagian pembahasan. Masing-masing adalah Prolog, Dongeng Toba, Jejak Kedahsyatan, Dampak Kehancuran, Skenario Mendatang, dan Perjalanan.
Pada bagian “Perjalanan” diulas tentang kemungkinan menjadikan Toba sebagai taman bumi (geopark) sesuai konsep yang dikembangkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Ulasan tersebut mengenai kemungkinan menerapkan terlebih dahulu konsep geowisata, alih-alih geopark jika dirasa masih terhadang sejumlah kendala infrastuktur.
Diskusi dan bedah buku tersebut juga menampilkan foto-foto 360 derajat Ekspedisi Cincin Api Kompas. Foto-foto dengan pendekatan baru itu ditampilkan jurnalis foto Kompas.com Fikria Hidayat.
Koordinator pengorganisasi acara Sekar Kanthi Nayenggita mengatakan, bagi mahasiswa dan masyarakat umum, diskusi tersebut membawa pada pengetahuan baru. “Mungkin selanjutnya perlu lebih didekatkan pada masyarakat umum dan lebih aplikatif. Juga agar lebih menjelaskan pada masyarakat umum tentang hal-hal teknis dalam ilmu geologi,” sebutnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Deliusno |
KOMENTAR