Setelah mendapat penolakan dari berbagai kalangan, upaya pembabatan hutan di Kepulauan Aru, Maluku, sementara tertunda. Rencana pembukaan kebun tebu oleh PT Menara Group seluas hampir 500 ribu hektare, batal. (Baca di sini)
Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, beralasan, lahan di Kepulauan Aru tak cocok buat tanaman tebu. “Setelah survei dan penelitian kawasan, ternyata lahan di Aru tidak cocok ditanami tebu,” katanya, dikutip Ekuatorial di Jakarta pada Jumat (10/4) lalu.
Menurut dia, kemiringan lahan di Aru menyebabkan kebun tebu tidak layak dan tak menguntungkan secara ekonomi. Rencana penanaman tebu ini terkait upaya pemerintah menekan impor gula nasional yang mencapai 3 juta ton per tahun.
Sebelum ini, Heru Prasetyo, Deputi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) juga Kepala Badan REDD+ mengaku pemerintah kecolongan dengan rencana pembukaan ratusan ribu hektare kebun tebu di Kepulauan Aru itu.
UKP4 membahas isu ‘kecolongan’ ini. Sayangnya, Badan REDD+belum bisa masuk ke sana karena baru fokus di 11 provinsi. Namun, kata Heru, UKP4, lewat sang ketua, Kuntoro Mangkusubroto, langsung menyurati Presiden terkait masalah ini.
Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Besar Walhi Nasional angkat bicara. Dia mengatakan, Menhut harus mempertegas maksud pembatalan itu.
“Apanya yang dibatalkan? Apakah izin konsesi perkebunan tebu atau SK pelepasan kawasan hutan?” katanya kepada Mongabay, Senin (14/4).
Dari pengamatan Walhi, di Maluku, sudah keluar keputusan pelepasan kawasan hutan sekitar 1,6 juta hektare. Kemenhut harus mempertegas klausul dalam SK pelepasan kawasan hutan itu hanya untuk wilayah kelola rakyat. “Tidak boleh terbit izin konsesi perusahaan,” katanya.
Sebab, kata Zenzi, jika tak ada penegasan khusus lahan kelola rakyat, justru keberadaan Kemenhut hanya mesin pencuci hak tanah. “Yang ada, nanti malah keluar izin buat sawit.”
Bahkan, bisa lebih parah lagi, izin tebu dan pelepasan kawasan hutan batal malah terbit IUPHHK-HT bagi perusahaan pulp and paper guna merampas kayu alam Aru. “Jangan sampai itu terjadi.”
AMAN menyambut gembira pembatalan izin perkebunan tebu di Kepulauan Aru ini. Namun, kata Abdon Nababan, Sekjen AMAN, sampai saat ini belum jelas berapa banyak izin pelepasan kawasan hutan yang dibatalkan Menhut.
“Juga belum ada kepastian apakah pembatalan ini hanya untuk perkebunan tebu atau komoditas lain seperti sawit,” ujar dia.
Dengan pernyataan Menhut mengenai alasan pembatalan karena tak cocok buat tebu, kata Abdon, berarti hutan alam di Aru masih terancam. “Kemungkinan masuk perkebunan komoditas lain di luar tebu.”
Pulau Aru di Kepulauan Maluku salah satu pulau-pulau kecil di negeri ini. Ia terletak di sisi tenggara Maluku, berbatasan langsung dengan Australia di Laut Arafura. Kabupaten ini terdiri dari 187 pulau, dengan 89 berpenghuni. Tutupan hutan seluas 730 ribu hektare di Kepulauan Aru setara 12 kali dari luas daratan Singapura.
Sejak 2007, pulau ini dalam ancaman penguasaan konsorsium PT. Menara Group menaungi 28 anak perusahaan dengan total lahan 484.493 hektare atau tiga perempat dari luas Kepulauan Aru.
Pada 2010, Bupati Kepulauan Aru, Teddy Tengko mengeluarkan izin prinsip, izin lokasi dan rekomendasi sebagai dasar usaha perkebunan tebu Menara Group. Pada 2011, izin diperkuat rekomendasi Karel Albert Ralahalu, Gubernur Maluku kala itu.
Pjs Gubernur Maluku Saut Situmorang kembali menekankan rencana pembukaan kebun tebu itu pada 6 Februari 2014.
Izin ini tidak hanya mengancam kerusakan hutan alam beserta lingkungan sekitar, juga wilayah adat sekitar 90 negeri atau desa. Luas daratan yang tersisa termasuk pulau karang dan bakau yang tak mungkin menjadi permukiman.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR