Tapi sumber lain juga merujuk kue ini disantap sejak Dinasti Tang (618–907 Masehi) pada kebiasaan masyarakat menikmati makanan tersebut, sambil menikmati keindahan bulan purnama. Mengenai hal ini, belum ditemukan catatan yang membuktikan kisah ini dari masanya.
"Saat Kaisar Tang Xuan Zong sedang menikmati keindahan bulan purnama bersama selirnya, Yang Gui Fei, kaisar makan [kue] Hu Bing." terang Flora Tan, Pengurus Bidang Seni Budaya Putra Putri Hakka Jakarta (Hakka Indonesia Group) kepada National Geographic Indonesia, Minggu (19/09/2021).
Kue Hu Bing sendiri adalah kue yang dikenal sejak Dinasti Han, dengan isian wijen dan kenari.
"Dan berkata bahwa nama Hu Bing tidak enak didengar. Lantas selirnya menatap ke bulan yang terang dan menyarankan mengganti namanya menjadi Yue Bing."
Sejak Dinasti Ming (1368–1644), kue bulan baru dikaitkan sebagai makanan yang dinikmati sebagai Festival Pertengahan Musim Gugur. Flora menyebut, kue bulan bahkan berperan pada kisah awal mulanya terbentuk dinasti ini setelah menjatuhkan Dinasti Yuan yang dikuasai bangsa Mongol.
Kue bulan berfungsi sebagai wadah penyelundupan pesan untuk melawan Dinasti Yuan pada bulan delapan tanggal 15. Itulah alasan mengapa kue bulan menjadi bagian tradisi untuk disantap pada tanggal tersebut, terang Flora.
Baca Juga: Membuat Lentera dan Makan Kue Bulan, Ini Tradisi Festival Musim Gugur
Kue bulan ini kemudian berkembang dengan banyak variasi dari segi bahan, isi, cara pembuatan, hingga gaya sejak Dinasti Qing berkuasa (1636 - 1911).
"Di Indonesia sendiri, tiap daerah mengembangkan variasi kue bulannya, paling umum dijumpai di berbagai tempat adalah kue bulan panggang Cantonese Style berkulit coklat dan kue roda kulit putih khas Peranakan," paparnya.
Gaya Kanton ini biasanya dioles dengan minyak babi, dengan varian isi seperti kacang hijau, kacang hitam, pasta biji teratai, pasta duren, atau campuran kacang-kacangan dan biji-bijian. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, muncul pula versi untuk vegetarian.
Pada kue bulan roda khas Tionghoa peranakan, lebih dikenal sebagai jenis asli masyarakat Tionghoa di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.
"Belum ada jenis moon cake yang jenis ini di negara lain. Dan rasanya disesuaikan dengan lidah orang peranakan Tionghoa-Indonesia seperti rasa keju, cokelat, cokelat-keju, nanas, biji jambu, duren, susu, cempedak, dan lain-lain," jelas Flora.
Baca Juga: Riwayat Perayaan Kue Bulan: Dari Dewi Chang'e Sampai Gus Dur
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR