Namun, haluan tulisannya adalah pandangan politik kiri. Pembantaian di dekat Aracataca pada 1928 dan pembunuhan kandidat presiden dari sayap kiri, Jorge Eliecer Gaitan, pada 1948, sangat mempengaruhi gaya tulisan Marquez sesudahnya.
Sempat tinggal beberapa tahun di Eropa, Marquez kembali ke Kolombia pada 1958, menikahi Mercedes Barcha yang adalah anak tetangganya sejak kecil. Pasangan ini memiliki dua anak. Pada 1981 dia meninggalkan Kolombia setelah dituduh bersimpati kepada pemberontak M-19 dan mengirimkan sejumlah uang untuk gerilyawan Venezuela. Mexico City menjadi tempat tinggal dia berikutnya sampai meninggal.
Pada 1976, Marquez pernah terlibat perseteruan terkenal dengan penulis Peru, Mario Vargas Llosa. Mereka adu tinju di luar bioskop di Mexico City, dan pada sebuah kesempatan alasan perkelahian itu pernah dibahas secara terbuka. "Seorang pria hebat telah meninggal. Karya-karyanya telah membuat sastra kita menjadi besar dan bergengsi," ujar Vargas Llosa, Kamis, dalam wawancara televisi.
Melewati kemiskinan hingga sebagian besar masa dewasanya, Marquez sedikit berubah oleh ketenaran dan kekayaan di kemudian hari. Namun, dia adalah tuan rumah yang ramah bagi tamu-tamunya, yang dengan penuh semangat menceritakan kisah-kisah panjang untuk para tamu.
Garcia Marquez menolak tawaran menjadi duta besar, juga menolak untuk dicalonkan sebagai presiden Kolombia. Namun, dia terlibat dalam upaya mediasi pemerintah Kolombia dan pemberontak sayap kiri.
Pada 1998, dalam usia 70-an tahun, dia mewujudkan impian seumur hidup dengan membeli saham mayoritas sebuah majalah berita Cambo di Kolombia, memakai uang dari hadiah Nobel-nya. Pada tahun berikutnya dia terserang kanker getah bening. Hingga jatuh sakit dia berkontribusi besar bagi majalah itu.
"Saya adalah jurnalis. Saya selalu adalah seorang wartawan," kata Marquez pada suatu ketika kepada Associated Press. "Semua buku saya tak mungkin saya tulis jika saya bukan wartawan, karena semua bahan (buku itu) berasal dari kejadian nyata."
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR