Presiden Palestina Mahmoud Abbas hari Minggu (27/4) mengungkapkan rasa simpati, yang jarang diungkapkan pemimpin Palestina, dengan penderitaan bangsa Yahudi semasa Holocaust.
Abbas mengeluarkan pernyataan tertulis menjelang Peringatan Hari Holocaust, yang diperingati Israel setiap tahun guna mengenang enam juta orang Yahudi yang dibunuh oleh Nazi selama PD II.
Itu adalah komentar luar biasa dari seorang pemimpin Arab, dan tampaknya digunakan Abbas sebagai sebuah taktik diplomasi. Pejabat Israel pernah menuduhnya mengecilkan arti Holocaust dalam sebuah disertasi doktor pada tahun 1970-an.
Presiden Abbas, yang memimpin Otorita Palestina di Tepi Barat, tampak berusaha menarik simpati dari publik Israel, setelah macetnya perundingan perdamaian yang telah berlangsung selama sembilan bulan, pekan lalu. Israel menghentikan perundingan setelah pemimpin Palestina itu sepakat membentuk pemerintahan persatuan dengan kelompok militan Islam Hamas yang menguasai Jalur Gaza.
Hamas menolak menanggalkan cara-cara kekerasan dan mengakui Israel, dan PM Israel Benjamin Netanyahu mengatakan, dia tidak akan pernah mau berunding dengan kelompok teroris yang menyangkal kehadiran negaranya. Pada sidang mingguan Kabinet di Jerusalem, Netanyahu juga mengecilkan makna dari komentar Abbas mengenai Holocaust, katanya pernyataan itu “dimaksudkan untuk menenteramkan opini dunia.”
Netanyahu menuduh Presiden Abbas bergabung dengan Hamas, di mana Hamas merupakan kelompok yang menyangkal Holocaust serta juga hendak menciptakan Holocaust ke-dua dengan menghancurkan Israel.
Perunding utama Palestina Saeb Erekat berpendapat, sebuah pemerintahan persatuan justru akan menguntungkan proses perdamaian, jadi, menurut Erekat, pendapat Israel itu tidak masuk akal.
“Saya sudah tidak mengerti lagi jalan pikiran Israel,” kata Erekat.
Erekat mengutarakan kepada Radio Angkatan Darat Israel bahwa Presiden Abbas telah menyatakan dengan sangat jelas: Hamas harus menerima kebijakan-kebijakan Abbas mengenai perdamaian.
“Abbas telah mengatakan, ‘Saya akan membentuk sebuah pemerintahan dengan kebijakan saya yang mengakui Israel, mengakui solusi dua negara, menerima semua persetujuan yang telah ditandatangani, dan meninggalkan kekerasan,’ jadi apa yang dikehendaki Israel?,” tambah Erekat.
Namun bagi PM Netanyahu, jawaban terhadap pertanyaan Erekat itu sederhana.
Dengan menyapa Presiden Mahmoud Abbas dengan nama panggilan akrabnya yaitu Abu Mazen, Netanyahu mengatakan bahwa, “Abu Mazen harus memilih antara (melanjutkan) persekutuannya dengan Hamas ... atau membina sebuah perdamaian sejati dengan Israel.”
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR