Sistem sewa tanah ini membuat keuntungan besar bagi para penyewa tanah, khususnya di Yogyakarta. Mereka berhasil meningkatkan produktivitas kopi, dengan penawaran tertinggi dibandingkan komoditas lain.
Rupanya, kondisi ini merugikan pemerintah Hindia Belanda, karena produksi kopi dari Vorstenlanden membuat kopi mereka menurun. Kompetisi dagang ini membuat Baron van der Capellen mempertimbangkan untuk memutuskan kondisi ini. Apa lagi, dia khawatir akan risiko teguran Raja Willem II yang memercayakan produktivitas koloni Hindia Belanda padanya.
Maka, dia melarang orang-orang Belanda melakukan sewa tanah di Vorstenlanden pada Mei 1823. Para pengusaha memberi reaksi, karena sudah terlanjur berinvestasi, dan belum mampu mengembalikan jumlah modalnya.
Baca Juga: Sepuluh Fakta Tersembunyi Di Balik Ganasnya Kecamuk Perang Jawa
Awalnya Nahuys mendesak Van der Capellen untuk mencabut keputusan itu, tapi gagal. Dia pun mundur dari jabatan residen Yogyakarta dan Surakarta, dan tidak mau lagi tinggal di Hindia Timur dan kembali ke Belanda. Para pengusaha melayangkan keluhannya langsung ke Raja Willem II.
Singkatnya, Van der Capellen atas desakan raja, memaksa raja-raja Yogyakarta dan Surakarta mengembalikan uang sewa. Hal ini bermasalah bagi Keraton Yogyakarta, yang hasil produksinya lebih tinggi dibandingkan Surakarta.
"Mereka (Keraton Yogyakarta) telah menggunakan uang sewa yang ada dan tidak lagi mampu mengembalikan tuntutan itu," tulis Harto. Imbasnya, apra pemilik tanah yang memiliki hutang kepada Keraton, terpaksa tanahnya diambil alih Keraton.
Baca Juga: Rentetan Praktik Korupsi Pemantik Perang Jawa Pangeran Dipanagara
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR