"Kalau mamaku mulai cerewet dan ngomel, dimatiin saja deh," kata Thania yang disambut derai tawa dari Karen yang pagi itu menemani Thania.
Alat bantu dengar bagi Thania dipasang sejak usia empat tahun, tetapi ia baru benar-benar lancar berkomunikasi saat kelas V SD. Hingga kini, diskriminasi terhadap penyandang difabel masih dirasakannya.
Agar Thania bisa diterima di sekolah biasa, sang ibu pernah menyembunyikan bahwa Thania adalah penyandang tunarungu. Begitu ketahuan tunarungu, Thania pernah akan dikeluarkan. Namun, ia bisa bertahan karena tes IQ di atas rata-rata.
Kesulitan ternyata tak berhenti di situ, Thania hampir selalu terancam dikeluarkan setiap kali kenaikan kelas. Thania tidak menyerah. Ia berjuang mati-matian mengejar ketertinggalan dengan kursus tambahan seusai jam sekolah. Jika ada kata-kata guru yang tak tertangkap pendengaran, ia harus meminjam catatan teman.
"Belajar sambil nangis heboh. Kecepatan menerima pelajarannya berbeda dengan teman lain," tambahnya.
Setelah kelas V SD, Thania mulai bisa beradaptasi dan mendapat nilai bagus. Pelajaran sekolah bisa dikuasai, rekan-rekannya pun mulai menyukai dan mau membantunya. Thania lalu aktif berorganisasi, menjadi panitia beragam kegiatan sekolah, menjajal terlibat dalam klub basket di sekolah, hingga ikut kelompok doa.
Thania berjuang keras ketika kuliah. Materi kuliah makin rumit dengan bahasa yang sering kali sulit ditangkap. Ia rajin bertanya ke teman kuliah atau dosen seusai kuliah.
"Aku enggak tahu dosen ngomong apa karena ngomong cepet. Bahasanya dewa banget. Aku harus memberanikan diri bilang kalau punya kekurangan," ujar Thania.
Kekurangan yang diderita Thania berawal dari wabah meningitis atau radang selaput otak yang melanda Amerika Serikat. Kala itu, ia ikut hijrah ke AS mengikuti papanya yang mengambil kuliah S-3 di sana. Thania harus berjuang untuk hidup. Mukjizat membuatnya terbebas dari koma selama sembilan hari dan kelumpuhan.
Thania menjalani operasi pemasangan cochlear implant . Demi perkembangan Thania, mereka kemudian pulang ke Tanah Air. Dilingkupi cinta dari keluarga dan dukungan dari guru serta rekan-rekannya, Thania bertumbuh menjadi pribadi yang ceria dan selalu tersenyum. Thania percaya bahwa semua trauma dalam hidup bakal bisa dilewati seiring perjalanan waktu.
Sebagai tunarungu, Thania belajar mandiri sejak kecil. Ia terbiasa naik mikrolet menuju sekolah atau ojek sepeda motor. Ia pernah kos sendiri di daerah Karawaci, Jakarta Barat. Ia juga mewarnai hidup dengan beragam kegiatan, seperti main basket, lari keliling kompleks, hiking ke gunung, dan snorkeling.
Thania sebenarnya rindu ingin menyelam lebih dalam ke dasar lautan, tetapi alat bantu pendengaran yang dipasang di telinganya tak memungkinkan menjalani olahraga selam. Pada
hari kemerdekaan 17 Agustus lalu, ia bersama teman-teman merayakannya dengan snorkeling di Karimunjawa. Demi menjangkau pulau indah di utara Jawa itu, Thania iseng naik bus umum dari Terminal Rawamangun, Jakarta Timur.
"Berangkat bertiga, cewek semua. Supaya enggak khawatir, enggak ngasih tahu mama. Dari Rawamangun ke Karimunjawa naik bus, itu seru banget," ujar Thania.
Jika ada janji ketemu dosen pembimbing di Universitas Indonesia, Thania pun memberanikan diri naik kereta commuter line . Jika sedang libur panjang, sesekali ia bepergian bersama sahabat-sahabatnya ke negara lain, seperti Kamboja atau Laos.
Kemampuan mengatasi rasa takut juga ditanamkan orangtuanya. Ketika seorang teman sekolah memukulnya, Karen bukannya membela, tetapi mengantar anaknya ke sekolah untuk memukul balik.
"Orang cenderung melecehkan. Saya ajarin nonjok yang bener. Harus buktikan fisik mampu meski kecil. Harus belajar animal surviving . Kalau hak kamu dilanggar, ya lawan. Kalau salah, ya perbaiki. Jangan karena kamu handicap , kamu harus nurutin semua orang," ujar Karen.
Dalam pertemuan dengan orang-orang baru, mereka sering kali mengira Thania berasal dari Korea karena gaya bicaranya kadangkala terpatah-patah. "Saya Indonesia kok. Saya hanya enggak bisa mendengar. Aku harus apa adanya. Kalau diam aja dipikir macem-macem," tambahnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR