"Bagaimanapun canggihnya angkringan gaya baru, orang-orang berkantung cekak seperti mahasiswa atau para seniman muda Jogja masih saja pergi ke angkringan gaya lama (angkringan tradisional) untuk memenuhi kebutuhan perutnya" tambahnya.
Menariknya, semua elemen di masyarakat dapat menikmati hidangan yang tersaji di angkringan. "Ndak cuma guru, pegawai bank, petugas desa, sampai tukang becak, biasa mampir kesini (angkringan)" ungkap Ahmad Rushanfichry, seorang guru swasta di Solo, menuturkan kepada National Geographic Indonesia.
Hamparan tikar disiapkan oleh pramusaji angkringan, menyediakan tempat senyaman mungkin bagi pengunjung yang datang. Sembari duduk bersila hingga selonjoran (lesehan), segala macam obrolan santai terlontar di angkringan. Problematika hingga gagasan-gagasan, mulai dari gagasan yang bagus hingga yang nyeleneh sekalipun, dapat tertuang disana.
Baca Juga: Misteri Hilangnya Lukisan Karya Kartini Saat Pusaran Geger 1965
"Tempatnya santai, jadi banyak yang bisa dibicarakan. Kadang ngomongin politik, (urusan) sekolah atau cuma bercanda-bercanda aja" tambahnya. Seperti halnya guru-guru, saat sedang senggang, menyempatkan waktu istirahatnya di angkringan. "Banyak gagasan dan terobosan dari kebijakan di sekolah, bisa lahir dari obrolan santai di angkringan" ujar guru yang akrab disapa Fichry.
"Terkadang obrolan sepele, tapi juga ada yang jadi (kebijakan -gagasan yang bagus)" tambahnya. Baginya, angkringan dapat berupa juga sebagai tempat melepas penat ditengah kesibukan, melalui obrolan ringan dan candaan yang menghibur.
Tak peduli dengan tempatnya yang terpencil, atau agak sedikit kumuh, angkringan tetap menjadi pilihan untuk berkumpul, sehingga tetap lestari. Lestarinya budaya Jawa, sebagaimana falsafah Jawa, "mangan ora mangan, sing penting kumpul!" (makan tidak makan, yang penting berkumpul).
Baca Juga: Lukisan Harimau Raden Saleh: Jejak Nestapa Satwa di Pulau Jawa
Source | : | JSTOR,Proceedings: Lifestyle and Architecture 2011,Universitas Negeri Yogyakarta |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR