Ternyata Bali memiliki situs arkeologi bersejarah mirip Petra di Jordania selatan, lho! Letaknya tak jauh dari Tampaksiring. Namanya Situs Candi Gunung Kawi, yang dibangun di tebing cadas yang tinggi menjulang seperti juga Petra di Jordania. Bedanya kalau Petra dibangun dengan skala yang sangat megah sedangkan Candi Gunung Kawi tidak semegah itu.
Candi Gunung Kawi ini dibangun oleh Anak Wungsu yang merupakan adik raja Airlangga sekitar abad 10-11 Masehi. Ditemukan dan diperkenalkan pada tahun 1920 oleh Residen H.T. Damste. Di situ itu terdapat empat kelompok bagunan pahatan, tiga candi dan satu wihara atau patapan. Candi yang dipahat di tebing batu gamping banyak terdapat di sepanjang sungai Pakerisan yang bermuara di danau Batur.
Tinggalan arkeologi berupa tempat suci di Bali dikelompokan menjadi tiga kelompok besar. Yang pertama candi tebing atau candi pahatan atau candi padas. Yang candi/relief lainnya dipahatkan pada tebing batu gamping di tepi sungai atau sawah. Candi Gunung Kawi termasuk kelompok ini.
Yang kedua kelompok miniatur candi, yang dibuat dari batu padas ukuran kecil, lengkap dengan tiga bagian candi, kaki, tubuh dan kepala. Yang ketiga adalah kelompok candi monumental atau candi tiga dimensi yang dibuat dari batu padas dengan cara menyusun batu-batuan itu.
Di situs Gunung kawi terdapat empat kelompok bangunan. Tiga bangunan berbentuk candi dan sebuah bangunan berbentuk wihara. Untuk memasuki kawasan ini pengunjung harus melewati ratusan anak tangga yang cukup melelahkan. “Capek ya mas? Saya pernah sepuluh kali bolak-balik,” kata seorang pemandu saat melihat saya ngos-ngosan menapaki anak tangga.
Candi yang pertama dijumpai adalah kelompok candi 4, yang dipahat di dinding lembah. Di dinding lembah seberangnya yang dibatasi sungai Pakerisan terdapat kelompok candi 5 yang berdempetan dengan wihara.
Saat saya ingin menyeberangi lembah menuju candi 5 oleh sang pemandu saya diarahkan ke kelompok candi lain yang disebut candi 10. “Ke candi 10 saja dulu, biar tak bolak balik,” begitu kata pemandu saya. Tempatnya memang agak jauh, berlawanan arah dengan candi 5 dan menyebrang ke lembah yang lain.
Saya menuruni lembah dan melewati area persawahan. Lalu melewati tebing batu yang dilubangi berbentuk persegi "Ini pintu masuknya," kata seorang pemandu. Tak lama kemudian saya menjumpai dinding-dinding batu berlubang persegi yang dipahat. Tempatnya sunyi di kelilingi hutan, kesannya angker. Terdapat sebuah candi yang dipahat di dinding. Di candi itu juga terpahat aksara Bali kuno, yang disebut inskripsi "rakryan ".
“Waktu pemilihan umum legislatif banyak calon legislatif yang datang kemari untuk semedi,” kata seorang pemandu. Tujuan bersemedi di sana agar terpilih menjadi anggota dewan. Tempat ini memang sakral. Tempat yang baik untuk bermeditasi. Tetapi seusai bermeditasi para calon legislatif itu “mencemari” tempat itu dengan meninggalkan banyak kartu nama yang berserakan. “Tumpukan kartu nama yang ditinggalkan untuk pengunjung yang ke sini” begitu penjelasan pemandu kepada saya.
Dibandingkan dengan candi 4 dan 5 yang menjulang tinggi, pahatan candi 10 ini agak kecil. Tingginya sekitar setengah kali candi 4 dan 5. Jarak pandang ke candi 10 pun terbatas, karena candi itu berhadapan langsung dengan jurang. Pengunjung tidak bisa mundur jauh untuk mengamati candi karena ada jurang di belakangnya.
Di sebut candi 4 karena ada empat pahatan relung berbentuk busur yang di dalamnya terdapat pahatan candi. Begitu pula dengan candi 5 karena ada lima relung pahatan. Sebuah relung berbentuk busur ukurannya kira-kira setinggi pohon kelapa.
Bersebelahan dengan candi 5 terdapat sebuah wihara yang terdiri dari ruang-ruang dan bentuk dari batu yang dipahat. Ruang-ruang itu berbentuk gua persegi. Kalau candi-candi diperkirakan untuk pendharmaan selir raja atau makam permaisuri raja, maka wihara adalah tempat untuk berdoa atau bersemedi.
Ruang-ruang wihara ini seakan membangun suasana misteri. Konon para petapa jaman dahulunya tinggal di lubang-lubang yang dijadikan kamar untuk petapaan. Saya sempat menjumpai beberapa pengunjung yang melakukan doa dan ritual di sebuah ruang batu wihara.
Mengunjungi Candi Gunung Kawi bak meretas waktu, kita seperti kembali ke masa lalu. Pahatan-pahatan dari masa lalu membentuk pengetahuan kita akan makna spiritual bagi masyarakat Bali pada umumnya. Candi-candi itu berdiri dengan megahnya menyatu dengan alam yang membentangan. Berdiri di hadapan candi yang tertoreh pada dinding batu gamping itu membuat diri ini merasa kecil. Skalanya yang dibuat besar menelan ego manusia, cocok bagi yang ingin bermeditasi, mengkosongkan diri dan menekuni dunia spiritual.
Candi Gunung Kawi ini wajib dikunjungi pecinta cagar budaya jika berkunjung ke Bali, di mana kita bisa melihat kuatnya suatu kepercayaan untuk untuk membimbing manusia membuat buah karya tangan dengan indahnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Tabloid Nakita |
KOMENTAR