Gerimis tipis turun lembut di Stasiun Cibatu ketika Kereta Api Serayu yang kami tumpangi tiba dari Jakarta tepat pukul 14.20. Kereta ekonomi berpendingin ruangan itu berangkat dari Stasiun Jakarta Kota pukul 08.25 menuju stasiun akhir Purwokerto via Purwakarta, Bandung.
Terletak di ketinggian 612 meter di atas permukaan laut, Stasiun Cibatu terasa sejuk berlingkung bukit dan gunung. Di sebelah barat tampak Gunung Guntur yang ketika itu puncaknya diselimuti mega putih. Sementara setengah punggung gunung dirambati sinar matahari. Sebuah panorama yang mirip lukisan. Di kiri-kanan, sejauh mata memandang, tampak gunung-gunung indah, yaitu Gunung Papandayan, Gunung Cikuray, Gunung Kancil, dan Gunung Haruman.
Stasiun yang dibangun pada 1889 itu menunjukkan kerentaannya. Risplank sudah tampak agak keropos. Namun, stasiun ini menyimpan sejarah. Ada penumpang "istimewa", yaitu komedian Inggris legendaris, Charlie Chaplin, pada 1927. Mungkin hanya sebuah kebetulan jika Charlie Chaplin lahir pada 1889, tepat ketika Stasiun Cibatu dibangun.
Sampai sekarang memang belum ditemukan dokumen resmi yang menyebutkan aktivitas Chaplin dalam berkereta api menuju Garut. Kepala Pusat Pelestarian dan Desain Arsitek PT Kereta Api Indonesia (Persero) Ella Ubaidi mengatakan, sampai saat ini belum dijumpai bukti sejarah mengenai persinggahan Charlie Chaplin di Cibatu, Garut.
Kisah turun-temurun
Kisah kunjungan Chaplin ke Garut itu secara turun-menurun hidup dan tertanam di benak warga Garut. Antara lain menurun kepada Franz Limiart (47), warga Garut yang aktif sebagai pemerhati sejarah dan pelaku ekonomi kreatif Garut. Ia mendapat cerita dari mendiang sang ayah, Liem Boen San (1923- 1993).
Ketika Chaplin datang untuk kedua kalinya pada 1935 di Garut, Liem Boen San berusia 12 tahun. Liem, seperti dituturkan Franz Limiart, melihat kehebohan besar di Garut tahun itu. Gara-garanya adalah kunjungan komedian berkumis "Hitler", yaitu Charlie Chaplin.
Liem Boen San kecil, seperti dituturkan Franz, begitu penasaran saat banyak orang berkumpul di Stasiun Garut Kota, berjarak 100 meter dari rumahnya. Beberapa orang yang ditemuinya, pribumi atau Eropa, membicarakan Charlie Chaplin. Siang yang panas tidak menyurutkan riuh rendah warga dari berbagai kalangan berdiri di muka Stasiun Garut Kota untuk melihat Chaplin turun di Stasiun Garut dari Stasiun Cibatu.
Komedian film bisu itu benar-benar menampakkan batang hidungnya tanpa riasan di Stasiun Garut Kota. Wajahnya tidak berhiaskan kumis petak. Ia tidak memakai jas sempit dan celana kedodoran. Topi tinggi warna hitam andalannya pun tidak ia bawa. Siang itu, ia berjas dan berdasi rapi dengan penutup kepala mirip yang lazim digunakan mandor perkebunan.
Lambaian tangan Chaplin disambut puluhan orang yang sudah menunggunya di Stasiun Garut Kota. Di stasiun yang kini mati suri itu, tubuh kecil Liem Boen San ikut merangsek maju berdesakan bersama warga lain yang penasaran. Iring-iringan itu terus mengekor 200-300 meter di belakang Chaplin. Antusiasme warga baru reda saat Chaplin dibawa pergi menuju Hotel Grand Ngamplang.
Hotel Grand Ngamplang adalah salah satu bukti bahwa Garut sudah menjadi idola wisatawan tempo dulu. Bersama Hotel Papandayan, Villa Dolce, Hotel Belvedere, Hotel Van Hengel, Hotel Bagendit, Villa Pautine, keberadaan Grand Ngamplang membuat Garut dikenal sebagai pionir resor wisata Hindia Belanda.
Dari Ngamplang yang berada di ketinggian 630 meter di atas permukaan laut, orang bisa melihat kemegahan Gunung Papandayan, Guntur, Cikuray, dan Karacak. Mungkin, pemandangan itu mengingatkan Chaplin pada tempat tinggalnya di Desa Corsier-sur-Vevey, Swiss.
"Di hotel itu diduga kuat julukan Switzerland van Java tercetus pertama kalinya. Namun, sayang tidak banyak jejak Chaplin yang bisa dilihat di Ngamplang," kata Franz yang berprofesi sebagai pegiat wisata Garut.
Tak Hanya Cukupi Kebutuhan Gizi, Budaya Pangan Indonesia Ternyata Sudah Selaras dengan Alam
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR