National Geographic Indonesia memerlukan waktu 6 jam lebih dengan bersepeda motor untuk sampai ke lokasi Sekolah Dasar Masehi Billa di dusun Pindu Hurani, kecamatan Tabundung, Sumba Timur. Hanya dua jam setengah di awal jalannya mulus tapi kemudian berjam-jam sisanya jalan bervariasi dari yang mulus, rusak sedan sampai rusak berat, berbatu dan berlubang. Belum lagi harus memotong aliran sungai yang membentang. Untungnya ini sudah memasuki kemarau, airnya jauh menyurut hanya sebetis orang dewasa. Kalau musim penghujan airnya setinggi orang dewasa. Jalan itulah yang juga harus ditempuh Ervan Yopi Putranto, 25 tahun, saat pertama kali mendatangi dusun itu pada September 2013. Ia adalah guru baru yang ditempatkan di daerah terpencil.
Ervan adalah salah satu di antara 79 guru muda yang ditempatkan di daerah terpencil di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Ia mengikuti program yang dikenal dengan Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal atau SM3T yang diprakarsai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sejak Tiga tahun lalu pemerintah telah memulai program ini. Ervan dan kawan-kawan adalah angkatan ketiga dari program ini.
Saat NGI menceritakan kepada Ervan medan yang sulit untuk menjangkau dusun tempatnya mengajar. Ervan hanya tersenyum, “Saya pernah digotong oleh delapan orang untuk menyeberangi sungai itu saat musim hujan.” Ervan lalu menceritakan saat ia terkena malaria ketika baru beberapa bulan mengajar di dusun Pindu Hurani. “Kalau musim hujan airnya deras dan setinggi dada orang dewasa. Sungai jadi lebih lebar,” kenangnya.
Untuk mencapai puskesmas terdekat adanya di kota kecamatan Tabundung yang berjarak 20 km dari dusun tempat ia mengajar. Ia diantar menggunakan motor oleh penduduk desa untuk berobat ke puskesmas. Untuk menyeberangi sungai itu motornya harus digotong penduduk desa, begitu juga Ervan harus digotong banyak orang agar bisa melewati arus yang deras. Tantangan lain, jalan yang rusak naik turun melewati perbukitan menjadi siksaan sendiri bagi Ervan. Syukurnya setelah seminggu Ervan bisa melewati masa kritis dan kembali pulih. Penduduk bersyukur karena guru yang mengajar matematika anak-anak mereka kembali beraktivitas seperti sedia kala.
Keberadaan Ervan di dusun itu mendapat tempat tersendiri di hati penduduk desa. Ia cepat menyatu dengan penduduk desa dan mengikuti irama kehidupan di sana. Penduduk ringan tangan membantunya karena Ervan pun ringan tangan membantu mereka. Seperti yang disampaikan Samuel L. Retang, salah satu tokoh penduduk desa Billa. ”Bapak Ervan selalu ikut olahraga, kerja bhakti. Baik itu anak,” ungkap Samuel. “Sosial kemasyarakatannya bagus, dan bergaulnya saya kira itulah yang diharapkan kami di sini,” lanjutnya lagi.
Ervan rajin membantu dalam kegiatan masyarakat. Mulai dari panen padi, upacara adat, membuat jalan di desa, mengatasi banjir di muara sampai urusan memotong ayam. Semua kedekatan itu membantu Ervan dalam melaksanakan kewajibannya sebagai guru di daerah terpencil. “Panen padi di sini masih tradisional, masih injak padi,” tutur Ervan. Di desa itu cara merontokan butir padi dari batangnya bukan dengan mesin perontok tetapi dengan cara diinjak-injak sambil diiringi nyanyian dari peserta.
Hal-hal seperti itu yang membuatnya betah dan bahagia mengajar di pedalaman. “Banyak pengalaman baru. Saya menyerap budaya baru,” tutur Ervan. Ia sering kali mengikuti acara adat selama di sana. “Kalau ikut acara adat di sini kita harus memakai pakaian adat,” katanya berbinar-binar.
Hal lain yang membuatnya betah adalah semangat anak-anak yang dididiknya. Murid-muridnya bukan hanya berasal dari dusun Pindu Ruhani tapi juga dari dusun-dusun lain yang jaraknya paling dekat 3 km dan paling jauh 6 km. Sambil bercerita ia menunjuk beberapa anak didiknya yang berpakaian agak lusuh. “Kadang mereka tak sempat mandi untuk pergi sekolah agar tak terlambat. Mereka bersemangat untuk sekolah,” jelas lulusan PGSD Universitas Negeri Malang ini.
Ervan gundah kalau murid-muridnya yang rumahnya jauh ini tidak masuk sekolah. Terutama saat musim hujan. “Kalau hujan air sungai meluap sementara mereka harus langgar sungai, toh?” jelas Ervan yang mulai terbiasa berbicara dengan logat Indonesia Timur. Belum lagi kalau kehujanan di jalan, sementara harus berjalan kaki berkilo-kilo meter.
Ia mengajar mata pelajaran matematika. Ada tiga kelas yang dia ajar yaitu kelas 4, 5 dan 6. Tantangan terbesarnya adalah kemampuan muridnya rendah dan daya tangkap pelajaran juga rendah. Ini menjadi tantangan tersendiri baginya. “Di sini saya dilatih untuk bersabar dan mandiri,” ujarnya. Walau daya tangkap anak didiknya rendah yang membanggakan Ervan adalah murid-muridnya selalu antusias dalam belajar di kelas. Biar jawabannya salah atau benar mereka berani maju ke depan kelas untuk menjawab pertanyaan. Ini sangat positif.
Saat ditemui sebelum dimulainya jam sekolah Ervan terlihat mencuci baju di halaman sekolah. Ia menempati salah satu ruang di ruang perpustakaan sekolah sebagai tempat tinggalnya. Salah satu ruang yang tak terpakai digunakan untuk kamarnya dan ruang lainnya digunakan untuk dapur. Tak sempat menjemur baju yang dicuci ia bergegas berpakaian dan langsung menuju ruang guru. Hari itu adalah hari ujian, ia harus mengawasi.
Saat mengawasi ujian Ervan berkali-kali mendatangi muridnya untuk menjelaskan soal-soal yang kurang dimengerti muridnya. Ruang kelasnya sederhana, tanpa langit-langit. Konstruksi kuda-kuda kayu dan penutup atapnya bisa terlihat karena tanpa langit-langit. Di dinding dekat papan tulis terpajang foto Presiden RI ke 5, Megawati Soekarno Putri. Perkembangan di ibu kota seperti tak menjangkau ke sana.
Ketertinggalan inilah yang membuat Ervan kadang bersedih. “Tak ada sinyal untuk telepon,” begitu katanya. Kalau untuk mendapat sedikit sinyal harus berjalan kaki ke atas bukit yang berjarak 3 kilometer dari sekolah. Kadang ia ingin bertegur sapa dengan rekan-rekan guru lain dan sanak keluarganya. Ketertinggalan ini juga membuat bahasa Indonesia tak digunakan dengan baik oleh anak-anak didiknya. Bahasa jadi kendala, sehingga daya tangkap muridnya semakin lemah.
Tapi ia melihat semua kendala sebagai tantangan yang harus berhasil ia lewati. Melihat semangat murid-muridnya belajar sudah membuatnya dia senang. Bahkan ia mengusulkan jika desa ini masuk dalam SM3T lagi, bisa ditambahkan untuk huru mata pelajaran lain agar muridnya meluaskan wawasannya. “Terus dilanjutkan untuk guru matematika dan bahasa Inggris,” usulnya.
Keberadaan Ervan di dusun terpencil itu dipandang sebagai berkah. Karena dusun itu kekurangan guru mata pelajaran. “Ini berkat!” Kata kepala sekolah SD Masehi Billa, ibu Banja Anaawa, A Ma Pd. “Kami sangat kekurangan guru mata pelajaran. Saya ngajar sudah!” Ia menjelaskan sebagai kepala sekolah yang harus ikut mengajar di kelas. “Terlalu ada manfaatnya,” jelasnya lagi tentang keberadaan Ervan.
Saat National Geographic Indonesia menyusuri jalan yang rusak berat di hutan untuk kembali ke Waingapu, tukang ojeg sepeda motor yang menemani mengeluhkan kondisi jalannya. “Saya menyerah kalau disuruh kemari lagi. Tak mau saya,” ujarnya. Ah, syukurlah ada anak-anak muda seperti Ervan Yopi Putranto, alumni PGSD Universitas Negeri Malang, yang tak menyerah untuk mengabdi di tempat terpencil dengan segala keterbatasannya seperti dusun Pindu Rohuni ini.
Penulis | : | |
Editor | : | Tabloid Nakita |
KOMENTAR