Ketika bencana alam melanda, serangkaian upaya pemulihan harus dilakukan, termasuk kegiatan memberikan bantuan kepada mereka yang terdampak kondisi ini. Padahal, meski murka bumi tidak dapat dihentikan manusia, tetapi ada langkah-langkah pendahuluan yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko terhadap lingkungan dan masyarakatnya. Itulah benang merah dari Thought Leadership Forum (TLF) ke-enam yang diselenggarakan oleh The Nature Conservancy (TNC).
Bertempat di ruang pertemuan Hotel Le Meridien, Jakarta (19/6) dengan format round table meeting, acara ini berlangsung menarik dan sarat informasi. “Ekosistem yang sehat dan dikelola dengan baik, seperti terumbu karang, hutan bakau dan rawa, ternyata mampu mengurangi risiko bencana karena fungsinya sebagai pelindung alami terhadap banjir, tanah longsor sekaligus penyaring air,” buka Adam Whelchel Ph.D, Director of Science of TNC, Connecticut, Amerika Serikat. “Ekosistem yang berfungsi sepenuhnya dapat membangun ketahanan lokasi sekitarnya terhadap bencana, mempertahankan kehidupan bahkan menyokong keberlangsungan perekonomian lokal.”
Sementara Imen Meliane, Director of International Adaptation and Disaster Risk Reduction Policy of TNC menambahkan, saat ini dapat dilihat bahwa solusi-solusi berbasis alam seperti upaya konservasi atas ekosistem yang kritis menjadi pilihan paling efektif untuk meningkatkan ketahanan sebuah kawasan.
Dalam diskusi selanjutnya, Imen memberikan contoh tentang bencana alam tsunami. Mulai penanganan terhadap korban sampai langkah-langkah menjadikan kawasan terdampak dapat dikembalikan kepada kondisi seperti sedia kala. “Kita dapat memikirkan berbagai pilihan, seperti pengadaan infrastruktur berupa seawall,” tandasnya. “Tetapi model penghalang buatan ini perlu dikaji dahulu, yang tidak mudah berpindah karena terbawa arus laut. Juga perlu adanya penanaman bakau, sebagai penghalang alami. Lantas kita lihat kembali, apakah ada permasalahan dengan kondisi warga di sekeliling? Secara keseluruhan hal-hal ini perlu diperhatikan dan dikelola dengan baik.”
Secara lebih detail disebutkan bahwa keputusan untuk membangun ketahanan iklim ini tidak dapat merujuk satu bidang semata. Mesti melibatkan komposisi grey, abu-abu atau berupa bangunan dan green, hijau atau yang bersifat alami. Sehingga hasil akhir nanti adalah paduan antara solusi teknik rekayasa (engineering) dan alam.
“Itu sebabnya, mengapa terumbu karang atau kawasan perlindungan alami juga mesti tetap dijaga,” imbuh Adam. “Bila ditambah dengan solusi lain, hasilnya akan semakin kuat.” Pernyataan ini juga menandaskan bahwa kawasan seperti Jakarta, potensial dijadikan lokasi pembangunan ketahanan iklim. Tentu saja, solusi untuk banjir tidak dapat mengandalkan hutan bakau semata. “Inilah yang harus dipikirkan secara komprehensif, mengingat ada keterbatasan dalam membuat perlindungan pantainya.”
Di sesi penutup, para pembicara dan peserta diskusi forum mengangkat rumah panggung sebagai bagian dari kearifan lokal untuk permukiman di kawasan pesisir. Warga masyarakat yang terkenal dengan desain hunian model ini adalah suku Bajo. Mereka dinilai memiliki adaptasi terhadap kondisi alam tempatnya berada.
Hal tadi sekaligus menandaskan bahwa dengan memperhatikan kondisi alam sekitar serta membangun ketahanan iklim setempat maka risiko bencana alam dapat diperkecil. Semoga pengertian ini turut menumbuhkan nilai-nilai kearifan lokal dalam merancang pembangunan fisik di kawasan-kawasan penyangga alami.
Penulis | : | |
Editor | : | Jessi Carina |
KOMENTAR