Nationalgeographic.co.id—Geger 1965 berimbas pada kehidupan sosial masyarakat kelas bawah. Para tertuduh PKI hingga anak-cucunya, dicap sebagai perampok dan pembunuh oleh masyarakat. Peri Sandi Huizche menggubah puisi yang menyayat hati berjudul Mata Luka Sengkon Karta, berkisah tentang rentetan peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia.
Aku seorang petani Bojongsari
Menghidupi mimpi dari padi yang ditanam sendiri
Kesederhaan panutan hidup
dapat untung dilipat dan ditabung
Demikian salah satu bait dalam puisi Peri Sandi. Ia menuliskannya dalam buku kumpulan esai, berjudul Mata Luka Sengkon Karta, yang diterbitkan oleh PT. Jurnal Sajak Indonesia pada 2013.
Sengkon dan Karta merupakan dua tokoh dari kisah nyata yang pernah terjadi di negeri ini. Mereka tinggal di Bojongsari, salah satu desa terpencil di Bekasi. Di bait-bait pertama, puisinya mengisahkan tentang petani yang berupaya mencukupi kebutuhan hidupnya secara susah payah.
Akulah Sengkon yang sakit
berusaha mengenang setiap luka
di dada
di punggung
di kaki
di batuk...
yang berlapis tuberkulosis
Di zaman yang serba rumit itu, seorang petani yang bernama Sengkon, susah payah untuk mencari penghasilan. Apalagi, ditambah dengan kondisi yang menuntutnya bergelut dengan penyakit tuberkulosis yang di idapnya.
Waktu itu, tahun 1974, menjadi latar dimulainya kisah yang menggores luka. Sengkon mengingat masa-masa dalam hidupnya melalui luka dan darah yang keluar dari tubuhnya.
Malam Jumat,
21 November 1974
Setiap malam jum’at
yasin dilantunkan dengan hidmat
bintang-bintang berdzikir di kedipannya
Istriku masih mengenakan mukena
mengambilkan minum dari dapur
Di kejauhan terdengar warga desa gaduh
'adili si keluarga rampok itu'
'ya… usir dari kampung ini'
'bakar saja rumahnya'
'betul',
Rasa bingung menyelimuti keluarga miskin itu. Apa yang sesungguhnya terjadi?
Istriku kaget
'kok kamu, kang?'
kebingungan
'Demi Allah saya tidak berbuat jahat!'
Lantas, kemudian Sengkon keluar, menghampiri warga dan aparat yang telah berkerumun di pekarangan rumahnya.
Baca Juga: Terbuangnya Generasi Intelektual Indonesia Setelah Peristiwa 1965
aku masih diselimuti kebingungan
disambut rajia seluruh badan
Kepalaku ditodong senjata laras panjang
mendekati puluhan ABRI dan Polisi
duk! dak!
aku dikerumuni pukulan warga
ABRI dan Polisi
ikut-ikutan menendang
Peri Sandi menggambarkan luapan kemarahan warga. Tak ada rasa kasihan dan peri kemanusiaan yang bisa menolong tubuh ringkih Sengkon. Seluruh perkataan keji terlontar kepadanya.
Bagong siah!
dulur aing paeh
gara-gara sia!
Sialan kamu, saudara saya (Solaeman) meninggal gara gara kamu, celetuk warga dalam penggambaran Peri Sandi. Sengkon tidak hanya dikatai rampok, tetapi juga dia dituduh sebagai pelaku pembunuhan Solaeman, salah satu warga yang kaya di desa Bojongsari.
Aku terkapar di tanah
seorang ABRI menggusurku
darah dan becek tanah bercampur di tubuh
Aku dilemparkan ke atas bak mobil
kondisi diantara sadar atau tidak
Selang kejadian
sesosok tubuh dilemparkan ke bak mobil
Ada sebagian tubuh yang menindih
kuperhatikan wajah yang penuh luka itu
Karta?
Baca Juga: Soe Tjen Marching: Pemerintah Harus Akui Pemerkosaan Tionghoa 1965
Sengkon dan Karta disiksa lalu ditangkap dengan tuduhan perampokan juga pembunuhan. Berdasar kesaksian warga, Sengkon dan Karta meminjam uang kepada Solaeman, yang dikenal sebagai orang kaya di daerah tersebut.
Namun, mereka selalu mendapatkan perlakuan yang tidak baik karena perbedaan status ekonomi. "Mungkin karena sering diperlakukan tidak baik oleh Solaeman, warga menuduh mereka yang membunuh dan merampok hartanya," tulis Rully Adriansyah dan Tanti Agustiani.
Mereka menafsirkan bait demi bait, sajak indah yang menyayat, karya Peri Sandi Huizche dalam tulisannya yang dimuat pada jurnal Imajeri: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Tulisannya berjudul Representasi Konteks Sejarah dalam Puisi Esai Mata Luka Sengkon Karta, terbit pada 2020.
"Negeriku, waktu itu masih dirundung rasa cemas, segala kejahatan dianggap golongan kiri (PKI)," tulis mereka.
Selain keadaan ekonomi yang rumit, ditambah dengan kondisi anak Karta yang jatuh sakit. Mau tak mau ia harus meminjam uang kepada Solaeman. Sedangkan, Sengkon mendapatkan cacian dari warga dan mendapat julukan golek beureum karena ia keturunan dari keluarga rampok.
"Aku bukan penjahat! aku bukan sedang menggugat! di tahun ini bicara jujur malah ancur, membele sedikit dianggap PKI, diam tak ada jawaban, tak ada pilihan," sajak Peri Sandi tentang kebimbangan sosok Karta. Saat itu tengah terjadi krisis sosial. Orang yang keras dengan pemerintahan, maka akan dianggap golongan kiri atau PKI, begitu juga dengan para pembunuh dan perampok.
Gunel Siih yang mengetahui bahwa saudaranya, Sengkon, telah dihukum, kemudian menggerutu. "Yang benar tapi disalahkan, Aku salah tapi lolos dari hukum". Kesaksian itu mengungkap bahwa sebenarnya Sengkon dan Karta belum terbukti atas tuduhan-tudahan itu.
Baca Juga: Misteri Hilangnya Lukisan Karya Kartini Saat Pusaran Geger 1965
"Krisis sosial dan kemanusiaan, tak pelak mendorong pemerintah untuk menutup mata dan telinga. Mereka tak melakukan investigasi lebih lanjut, malah secara gegabah menjatuhkan vonis kepada Sengkon dan Karta," pungkas Rully dan Tanti.
Beruntung, ada sosok Gunel yang terus menggerutu. Dibantu dengan Abert Hasibuan, seorang pengacara yang mengupayakan peninjauan kembali terhadap kasus pembunuhan Solaeman.
Atas kasus Sengkon dan Karta, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1980 mengenai Peninjauan Kembali yang menjadi dasar melakukan upaya hukum luar biasa dalam KUHAP Republik Indonesia saat ini.
Pada Akhirnya Sengkon dan Karta dibebaskan dengan upaya hukum peninjauan kembali. Mereka akhirnya dibebaskan dari penjara pada Januari 1981 karena terbukti tidak bersalah, meski telah mendekam sekitar tujuh tahun di penjara.
Baca Juga: Gerakan Perlawanan Haji Misbach: Islam Merah dan Komunis Hijau
Source | : | Jurnal Imajeri,Mata Luka Sengkon Karta |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR