Untuk hal ini, Tisna Sanjaya berkomentar, yang menjadi mainstream atau arus besar industri di Bandung adalah dunia anak muda, kafe, konsumsi, dan berbagai bentuk hedonisme lain, yang pada gilirannya menghilangkan kearifan lokal. Untuk kafe dan tempat hiburan, belakangan muncul peraturan yang membatasi kegiatan sampai pukul 24.00. Istilahnya: jam malam.
”Ada yang bilang kepada saya, ’Ini perubahan, Kang Tisna’. Saya jawab, ’Ya, tapi ada banyak yang hilang, dan ini penting’,” kata Tisna. Itulah yang menggelisahkannya karena dalam pandangan Tisna, industri kreatif hanya merupakan arus di permukaan.
”Studio-studio, galeri-galeri, restoran mengambil tempat di Bandung Utara yang merupakan tempat resapan air. Kalau saya, biarlah saya mendirikan galeri di Cigondewah. Saya melihat perubahan dari sungai di Cigondewah,” tutur Tisna.
Dengan keinginan berpredikat sebagai kota kreatif, di antara tegangan-tegangan itulah tampaknya Bandung harus bergulat. Yakni, tegangan antara produksi dan kelestarian lingkungan, modernitas dan tradisi, sampai yang paling mutakhir antara kebebasan dan jam malam.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR